3. Kantung tidur.

513 33 4
                                    

Mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra. Bersama teman, bertualang.

V menggeleng guna menyadarkan diri dari alunan film klasik anak-anak barusan, tapi sebenarnya memang itulah yang terjadi selama seharian tadi.

Pagi-pagi sekali dia dibangunkan untuk segera menyiapkan perlengkapan atau apa pun yang diperlukan untuk kegiatan mendaki bersama yang diadakan salah satu penggalang dana. Acara kumpul bersama sekalian mengakrabkan diri dengan para calon orang tua asuh, kata mereka.

V salah satu peserta. Sayangnya, dia tipe anak rumahan yang lebih betah menjalankan rutinitas di dalam ruangan dari pada berpanas-panasan mencari kegiatan entah apa. Selain dia punya trauma pernah nyaris diculik untuk dijual juga dilecehkan hanya karena ingin membeli sebungkus roti keju yang terletak satu blok dari panti, dia juga tidak berbakat membina percakapan alias pendiam. Baginya, lebih baik tersesat dari pada berbicara dengan orang asing.

Dia bodoh. Ya. Tentu saja.

Namun, karena acara itu diadakan oleh bakal orang tuanya kelak, V tidak punya pilihan.

Entah kenapa. Dia begitu saja menenggelamkan semua pertahanan kala sepasang mata kelabu biru itu dengan sopan, ramah dan lembut memintanya untuk menjalin hubungan lebih dekat setahun lalu.

Insting dan perutnya mengatakan jika pria tegap besar di sana, bisa dipercaya juga akan pasti melindunginya. Begitu saja.

"Baik. Kurasa kita semua sudah lelah seharian ini, bukan? Bagaimana jika langsung beristirahat agar besok tenaga kita kembali penuh untuk melakukan apa pun yang menyenangkan? Setuju anak-anak?" tanya pengurus panti yang mengajukan diri jadi panitia itu. Wajah paruh bayanya tampak gemerlap akibat pantulan nyala api unggun.

V mengangkat tangannya sambil lalu. Tidak ikut bersorak riang ala anak pramuka seperti yang lain. Ayolah. Itu kekanak-kanakan. Dia tujuh belas dua tahun lagi. Hal yang membuatnya nyaris pasrah tinggal selamanya di panti karena paling tua. Anak seumuran dirinya sudah pergi setahun lalu.

Salah satu faktor yang membuatnya lebih pendiam, bukan karena tidak mau bersosialisasi. Tetapi, karena banyak anak panti yang enggan menyapa karena sikap dingin yang terpancar darinya.

"Hei."

V otomatis tengadah. Senyum hangat dari wajah penuh janggut juga kumis rapi itu, akhirnya datang untuk duduk bersebelahan dengannya.

"Menungguku, ya?" tegurnya lagi. V menggeleng enggan. "Maaf. Tadi, ada sedikit urusan, tapi jangan khawatir. Oh. Kau tidak ikut masuk tenda? Yang lain sudah bubar, tuh."

V meremas sweter. Belum melepas pelukan ke tubuh sendiri. "Sebentar lagi."

"Hm. Apa tadi kau kenyang? Makannya cuma secuil begitu. Atau, sekarang kau malah lapar? Tunggu. Aku sepertinya masih punya—"

"Mike di sini saja," tahan V meremas lengan besar itu untuk mencegahnya pergi, "ditinggal lagi? Serius?"

Pria itu tersenyum dan perut V terasa menyenangkan. "Cuma sebentar. Kau pasti masih lapar. Aku punya cokelat panas untuk kita berdua. Tunggu, ya. Hanya sebentar. Sungguh."

V tak kuasa menahannya yang langsung beranjak sedikit tergesa. Pergi ke tenda sejauh sepuluh meter dari tempat V duduk meringkuk dan tak lama dia pun kembali dengan sebuah termos dan cangkir. Sembari menyamankan posisi duduk lalu menuang cokelat dan memandangi perapian di kejauhan, Mike berceloteh soal apa pun.

V yang lebih suka mendengar suara dan tatapan pria itu, hanya memandanginya. Sesekali hanya untuk menjawab singkat atau mengangguk juga menggeleng. Entah dari mananya yang menyenangkan soal perjalanan mereka tadi karena V nyaris sesak napas juga terjungkal, tapi rasanya lain saat mendengar Mike yang menceritakan kembali menurut pandangannya.

Cwtch. | Vottom √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang