6. Pelukan.

378 28 3
                                    

"Kenapa senyum-senyum?"

"Tidak boleh?"

"Aku tidak bilang begitu. Cuma mau tahu kenapa dari tadi senyum terus, daddy."

Mike menerima uluran handuk, tanpa diminta, segera mengusap-usap rambut basah cowok itu sedang empunya sibuk mengancingkan atasan piyama motif garis-garis putih biru. Mereka berdiri menatap ke cermin besar westafel kamar mandi. Tadi, Mike dipanggil masuk dengan raut manja setengah basah. Bagaimana menolak? Masa bodoh pada laptopnya yang terbuka.

"Jarang-jarang, 'kan kekasihku begini. Biasanya ritual mandi tidak mau dicampuri, sekarang malah minta diusapi." Mike menatap balik bayang-bayang cantik di cermin sana, mengenyahkan pikiran kecewa mengira diajak senggama, tapi hanya diminta bantuan saja.

"Jangan besar kepala. Aku sedang malas." Dia lalu menguap besar setelah berbicara, Mike terkekeh rendah. " ... rasanya mataku berat sekali ...."

"Jadwal pemotretannya padat, ya?" Mike diberi anggukan. "Besok juga?"

"Entahlah. Seluruh tubuhku kaku," ujarnya perlahan terpejam, Mike naluriah membiarkan diri jadi sandaran masih sambil mengusap-usap rambutnya, membuahkan senyum manis di wajah, " ... kau lembut sekali, tapi mana bisa kering kalau begini?"

"Baiklah, Victory Kim, model dan penyanyi terkenal ini maunya diapakan?" Mike menaikkan alis dengan nada dramatis. Kekasihnya terkekeh.

"Pakai pengering sekarang, tuan Butler. Lakukan atau kupecat."

"Aye, aye, laksanakan." Mike bergeser meraih alat pengering di sebelah kirinya, mulai menyalakan, sedang handuk yang tadi disingkirkan Victory. Deru pelan mesin mengisi ruang kedap suara itu sejenak. Mike telaten melakukan tugasnya, sementara Victory membuka tutup mata dengan nyaman.

"Lelah sekali, ya?"

"Uhum."

"Mau langsung tidur?"

"Yep."

Mike mencoba peruntungan. "Kalau kubuatkan cokelat panas dan kita berpelukan sebelum tidur, bagaimana?"

" ... kupikir kau juga harus tidur cepat? Rapat pagi-pagi, ingat?"

Mike mengerang dalam kepala. "Bisa diatur. Kita baru bisa bersama begini setelah sebulan, tahu. Apa tidak rindu berduaan dulu?"

Victory membuka mata, menatap lurus pria di belakangnya melalui pantulan mereka.

"Tidak ada seks. Aku janji," tambah Mike segera, tapi kekasihnya hanya diam. "Cuma ingin memelukmu, sungguh, sayang."

Raut wajah Victory memang terkenal datar, itu alasan mengapa banyak yang menganggapnya sombong atau dingin, begitu pun Mike. Bukan, bukan anggapan negatif itu, sebaliknya, dia mengagumi karena Victory tidak tertebak.

Yang terkadang, membuatnya frustasi sendiri.

"Sayang? Bagaimana ...."

"Keringkan dulu. Mataku sungguhan berat, daddy. Sentuhanmu malah membuatku tambah ngantuk ... kenapa berhenti?"

"Supaya tidak ngantuk."

"Mau aku sakit kepala? Oke."

"E-eh, tunggu dulu, iya maaf. Sedikit lagi juga kering. Jadi, ajakanku bagaimana?"

"Masih kupikirkan," jawabnya lalu mengibaskan kepala sejenak, menyisir dengan jari ke rambutnya, " ... kurasa cukup, daddy. Trims."

"Kehormatan bagiku, tuan muda." Mike membusungkan dada, lalu terkekeh geli karena cubitan ke perutnya. Victory melenggang keluar duluan.

Mike menghela napas, menelan kecewa sejenak karena kekasihnya pergi ke sisi ranjang, mengecek ponsel sambil membelakanginya. Baru mau melangkah ke sana, denting kecil dari laptop yang sedang daring pun mengalihkan perhatian, mau tak mau Mike meladeni. Dia kepala perusahaan soalnya.

Entah berapa lama menekuri layar juga saling tanya jawab panggilan dari sekretaris di seberang sana, Mike yang fokus kerja, menanggapi sentuhan di bahu yang turun ke dada itu dengan seadanya. Bahkan, tidak berpaling dari layar yang untungnya sudah tidak saling bertatap muka.

Victory melarikan jemari lain untuk ganti memijat bahu keras yang sedikit tegang itu, dia sekalian membisikkan ketenangan. Cukup mengerti untuk tidak memecah konsentrasi prianya dan hanya memanja ringan, alih-alih gantian memberi servis. Tatapan fokus yang mengenakan kacamata itu, berhasil membuatnya terpesona, seperti biasa.

Mike Butler memang berjarak dua puluh tahun dengannya, tapi justru itulah Victory terpesona. Pria matang. Luar dalam. Dari bibit, bebet, bobotnya. Lengkap. Hanya sayang, dalam urusan rumah tangga dan asmara, dia pernah gagal dua kali.

Baru dengan Victory, hubungan Mike langgeng nyaris dua tahun. Rekor, akunya.

Dulu, mereka berkenalan sebagai artis dan sponsor, sebatas itu, tapi siapa sangka pada pandangan pertama malah saling terpikat asmara?

Victory jatuh cinta karena perhatian kecil dari pria sibuk itu. Dia tidak pernah lupa hari ulang tahun dan kue kesukaan Victory. Semua diserahkan langsung tanpa perantara. Ya. Hanya sekali saat mereka terpisah benua dan saling bersua lewat video waktu itu, dengan sebuah kue stoberi cantik juga hadiah barang keluaran terbatas dari rumah Gucci menyertainya.

Victory tidak munafik. Dia suka barang mahal, walau jujur sekadar ingat hari kelahiran juga sebuah kue, sudah cukup mengambil hatinya.

Selain itu, pelukan Mike selalu ada untuknya saat diri benar-benar membutuhkan.

Jadi, sebuah ajakan berpelukan setelah lama terpisah jarak, sungguh sayang dilewatkan, bukan?

Janggut yang tercukur rapi diusap sekalian menyentuhnya dengan pipi sendiri, lalu berbisik, "Kutunggu di ranjang, daddy," dan pijatan bahu ditarik pelan sampai jemari berbuku besar Mike meraba mencari.

Cukup dengan alunan dari suara seperti kabut yang diberi bumbu sensual itu, Mike berpaling dari kerjaan. Mendapati goyangan bokong juga senyum miring nakal dari balik bahu  yang sengaja bergerak naik ke ranjang seperti kucing, menungging.

Mike menelan ludah, cepat-cepat berpaling untuk menyimpan data kerjaan dan tak repot membereskan meja, kacamata dilepas asal untuk segera menuju ranjang. Victory sudah balik telungkup dengan senyum geli, karena Mike tampak antusias sekaligus, tapi kikuk.

"Uh, cokelatnya?"

"Kalau aku saja, bagaimana?"

"Kau kenapa?" Mike membeo. Victory mengerucutkan bibir  dan membanting kedua kakinya bergantian.

"Daddy! Kutinggal tidur, ya!"

"O-oke-oke! Baiklah. Aku becanda, sayang," ujarnya segera merangkak ke atas tubuh Victory dan memeluknya erat sekalian menciumi wajah menekuk itu bertubi-tubi. Bahkan, sengaja menggosokkan rahang ke kulit leher jenjang sampai empunya mengeluh ampun kegelian.

Mike tahu kesukaan juga kelemahan Victory ada di leher serta janggut miliknya.

Victory menahan wajah Mike dengan napas memburu, serius minta jangan diberi gesekan geli janggutnya.

"Coba tebak?"

" ... apa?"

"Aku mencintaimu."

Victory tersenyum lepas, menarik wajah Mike sampai embusan napas mereka menyatu. "Aku lebih mencintaimu, daddy."

Dan, mereka saling menggulum bibir serta lidah sepanjang malam, benar-benar tanpa kegiatan panas. Hanya berpelukan hangat erat.

... .
:))

Cwtch. | Vottom √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang