5. Warisan (2) terakhir.

482 35 2
                                    

[ Aku tidak lagi memasang peringatan. Hal apa pun yang akan kalian dapatkan dari setiap cerita nanti, itu adalah kejutan dariku. Terlambat? Terserahlah. Jadi, ya, nikmati saja. ¯\_(ツ)_/¯]
.
.
.

"Paman! Kumohon, jangan! Paman—lepaskan aku, kumohon .... Paman Beneth," isaknya masih belum menyerah sembari menahan cengkeraman di lengan sebisa mungkin, "Paman, kumohon ...."

"Kau satu-satunya turunan yang dimiliki adikku. Kau pikir aku punya pilihan? Bergunalah sedikit, nak. Vante! Berhenti melawan dan turuti saja takdirmu! Jangan uji kesabaranku, oke?" Pria itu melepas paksa jemari ramping yang mencengkeram ambang pintu dan kembali menyeretnya melewati koridor.

"Paman, kumohon. A-aku masih bisa bekerja—ahk!" Lejit perih menyayat telapak tangan karena entah meraba apa dalam usaha mencari pegangan agar berhenti ditarik. Namun, sepertinya saudara ayahnya yang sebulan terakhir sudah dijadikan tumpuan karena petuah agar ke sana sebelum tidak ada kabar sama sekali itu, sudah dipengaruhi sesuatu.

Entah apa. Karena sebelumnya, perlakuan Beneth amat ramah. Baru setelah tahu jika hari itu adalah puncak purnama, Beneth seperti kesetanan dan tahu-tahu dengan kasar membangunkan cowok itu dan menyeretnya, entah ke mana.

"Paman, kumohon, kenapa—"

"Dengarkan aku, bocah!" sentaknya segera, bahu ramping yang lembab diguyur air tepat sesaat lalu setelah Beneth meracau entah apa kemudian menyeret cowok itu, diremas keras juga diguncang.

"Kau mau tahu kenapa? Itu karena adikku tak sanggup menyerahkan anak tunggalnya untuk dipersembahkan sendiri dan akulah yang harus repot begini!"

"Apa .... "

"Kau terlahir cacat dan itu melanggar aturan! Yang kau punya sekarang hanya tubuh dan nyawa yang polos dan kalau kau terus merengek minta lepas, maka nyawa ayahmu dan seluruh keturunan kita semua jadi taruhan! Pikirmu kenapa kita tetap kaya tanpa rugi sampai sekarang, hm? Pikirmu kenapa kau selalu mendengar pujian kakek nenekmu awet muda atau bahkan dirimu yang dikata masih remaja walau nyaris dua puluh? Pikirmu kenapa kau tidak juga menemukan para kakak sepupumu yang melewati umur dua puluh? ITU KARENA MEREKA DULUAN MATI UNTUK KEBERLANGSUNGAN WARISAN KELUARGA INI! JADI, BERHENTILAH MENOLAK KALAU KAU MASIH SAYANG AYAHMU!"

Cowok itu tidak dapat melihat raut Beneth, tapi cukup tahu dari suara yang disembur ke arahnya. Pada akhirnya pasrah diseret lagi. Dia kehilangan minat melawan atau menahan tarikan karena otaknya memutar kembali setiap kenangan bersama sang ayah. Satu-satunya yang dia punya sebelum hilang tanpa kabar untuk menitipkan dirinya ke Beneth.

Semua sikap ramah dan hangat itu.

"Kalau diam menurut begini, 'kan lebih mudah. Kau memang cacat, tapi pemikiran dan jiwamu berhasil dibuat naif, lugu atau bagiku sangat tepat dikata bodoh. Semoga, dia mau denganmu dan menjadikan semua kesulitan pemasukan kami normal kembali. Sial. Kalau saja tak perlu menunggu dirimu mati sekejap, sudah pasti aku menang lelang properti itu," ujar Beneth lanjut bergumam sendiri, sedang Vante masih terperas emosi. Sama sekali menelan informasi mendadak itu.

Pada akhirnya mereka berhenti, Beneth mengucap bahasa aneh lalu terdengarlah suara kunci pintu terbuka. Satu, dua, tiga sampai enam kali Vante mendengar kelotak jernih yang rasanya juga berat. Insting berkata bahwa sebuah pintu telah terbuka karena embusan angin menerpa sekujur tubuh. Lengan ramping disentak sampai tersungkur. Aroma tajam anyir darah berpadu hawa dingin, juga sesuatu yang terbakar, membuat bulu di tengkuk berdiri waspada. Tusukan seperti es menjalari punggung Vante, saat hanya suara Beneth terdengar kemudian.

"Untukmu. Nikmatilah. Kami undur diri menanti datangnya janji yang terpenuhi. Dia satu-satunya dan belum disentuh birahi. Segeralah cicipi." Begitu suaranya menghilang, Vante merasakan hawa dingin semakin menusuk dengan kesunyian pekat di sekelilingnya.

Cwtch. | Vottom √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang