1 - Side A : Karla Widjaja

4.6K 335 12
                                    

"Jadi, kamu yang namanya Karla?"

Karla Widjaja menyesap cairan pekat beraroma kafein dari gelas sekali pakai dalam genggaman, sebelum melangkah keluar dari lift. Denting samar terdengar kala pintu di belakang punggungnya perlahan menutup.

Ia mendapati seseorang tengah berdiri di hadapannya. Jangkung dan berpenampilan rapi. Kemeja batik warna biru gelap dan celana hitam terlihat sangat pas di tubuhnya yang tegap. Karla tahu, pemilik suara bernada angkuh tersebut pastilah Dimas Tjakra. Kaki tangan dari Hardja Construction, biro rival tempatnya bekerja.

"Bisa kerja dengan benar apa tidak?" Dimas menatapnya tajam. Lelaki itu berkacak pinggang, lalu mendekat perlahan. Detak langkahnya yang demikian percaya diri mengisi keheningan di antara mereka. Karla dapat mencium aroma mint segar yang menguar samar dari tubuh lelaki itu.

"Maksud lo apa?" Karla balas bertanya. Ia menyugar rambut sebelum menumpukan salah satu telapak tangannya di pinggang. Kini, ia meniru gestur tubuh Dimas. "Ada masalah sama gue?"

"Mana William?"

"Ya di kamar lah."

"Kamu yakin?"

"Will bukan anak kecil yang harus gue temani kemana-mana." Karla mengembuskan napas. Jengkel. "Memangnya dia mau kabur kemana? Will selalu bersama gue seharian ini."

Memang benar. Karla tidak sedang berbohong. Semenjak mereka meninggalkan kediaman keluarga Widjaja di bilangan Pondok Indah pagi tadi, kakak sepupunya tersebut berada di sisinya sepanjang waktu. WIll dan Karla adalah satu paket. Di mana Karla berada, maka di situlah Will juga berada.

Will masih terlihat mengurusi pekerjaan melalui laptop di pangkuannya, meski mobil yang mereka tumpangi telah berbelok masuk ke dalam parkiran Sunday Sunset Hotel, tempat mereka berada kini.

"Kamu yakin?" Mata Dimas memicing.

Karla paham, tatapan menuduh dari lelaki itu tertuju pada gelas di genggamannya. "Gue hanya turun sebentar ke kafetaria di lobi bawah. Nggak lebih dari dua puluh menit lamanya."

Karla menyadari, itu memang bukan waktu yang cukup singkat. Namun, ia benar-benar membutuhkan kafein agar fokusnya tetap terjaga. Juga, agar matanya tetap dapat terbuka lebar sepanjang waktu.

Dimas mendengus. "Saya mendapat laporan kalau William menghilang."

"Omong kosong macam apa itu?" Karla mendelik. "Jangan ngawur. Siapa yang bilang?"

Dimas memutar bola mata. "Apakah kamu selalu over confidence seperti ini?"

"Elo kalo ngomong jangan sembarangan ya. Will nggak mungkin kabur dalam acara sepenting ini." Suara Karla meninggi. Seakan ingin membuktikan bahwa ucapannya benar, kedua kakinya berusaha melangkah gegas. Di belakang punggungnya, Dimas mengekor tanpa diminta. Derap kaki mereka bergema di sepanjang lorong dengan penerangan benderang. Kebaya yang dikenakan Karla terasa sedikit mengekang saat digunakan untuk melangkah cepat.

"Lo bisa liat sendiri kalo Will ada di dalam." Di depan kamar nomor delapan kosong delapan, Karla menghentikan langkah. Ia menatap Dimas tajam sebelum membuka pintu. "Will! Ada yang nyariin lo—"

Udara dingin yang berasal dari pendingin ruangan berembus begitu pintu terbuka. Karla belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia tertegun kala mendapati kamar luas milik William terasa penuh sesak dengan orang-orang berbadan tegap. Melalui pakaian yang mereka kenakan; setelan hitam bernada monoton, juga badge yang melekat di bagian dada, Karla langsung mengenali bahwa mereka adalah tim sekuriti dari grup Archi-Tect..

"Will? William mana?" Pertanyaan Karla begitu memburu, menuntut jawaban, menyita atensi seisi ruangan.

Sontak, semua yang ada di sana menatap Karla. Mulanya, saat mendapati sosok dari Hardja di belakang punggung Karla, mereka terlihat ragu. Lalu, salah satu dari mereka pun buka suara, "Pak William Widjaja menghilang."

Tuan dan Nyonya Tjakra [ REPUBLISH ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang