it's good to tell me what it is like to take a picture of a boy
@conceptsbot
Saya berjalan di ujung lorong kampus sore itu. Saya yang pendiam, tidak suka keramaian memilih langsung berjalan pulang ke kosan yang kebetulan sangat dekat dibelakang kampus tempat saya menuntut ilmu setelah kelas diplomasi sore itu selesai. Sore hari itu sedikit lengang, hanya segelintir mahasiswi dan mahasiswa fakultas hukum yang duduk di bangku-bangku depan gedung mereka.
Saya biasanya pulang melewati gerbang belakang yang dibuka hingga pukul lima sore. Saya bergegas, menatap jam yang bergulir di layar telepon pintar saya. Saya bergegas, tidak memedulikan tali sepatu putih saya yang sepertinya sudah longgar. Takut keburu ditutup pak satpam, batin saya.
Saya melihat gerombolan mahasiswa laki-laki yang kumpul dan mengobrol di depan sana. Saya berusaha tidak mempedulikannya dan tetap berjalan lurus. Tenang saja, mahasiswa kampus kami bukan mahasiswa yang gemar bersiul dan menggoda mahasiswi lugu yang lewat macam saya. Mereka paling hanya melirik untuk kemudian berbincang lagi bersama teman-temannya.
Gerombolan tersebut terlihat semakin dekat. Beberapa diantaranya membawa bunga dan mengenakan, toga, saya rasa?
Mungkin sedang waktu wisuda, saya tidak tahu. Saya hanya mahasiswa semester tiga yang tidak begitu update masalah kakak tingkat.
Diantara mahasiswa tersebut, terdapat salah satu cowok menjulang tinggi yang tertawa begitu kerasnya. Mengenakan hoodie putih dan celana jins hitam legam dengan wajah mengkilat terang benderang. Auranya tampak bahagia, tertawa seperti tidak ada esok hari. Ia tidak mengenakan toga, mungkin mahasiswa semester awal seperti saya.
"Hei!" Saya berjalan lurus.
"Cewek!" Saya berhenti. Saya rasa saya satu-satunya cewek yang berkeliaran di area ini. Saya yang sudah lima langkah melewati cowok itu, memutuskan berhenti sebentar untuk ragu-ragu membalikkan badan.
"Ah, iya, kamu!" Sesosok tinggi ini menghampiri saya. Saya terkaget. Mohon maaf, sebagai anti sosial saya selalu kaget dengan interaksi-interaksi tidak terduga seperti ini. Mulai mengarang skenario-skenario aneh seperti, apakah tali sepatu saya lepas, atau pakaian saya memalukan hari ini, atau apa? Saya terlalu lama melamun sepertinya, sampai tidak sadar cowok jangkung ini sudah hadir tepat di depan mata saya.
"Halo, maaf panggil tiba-tiba, saya mau minta tolong," Ujar cowok ini, hidungnya tinggi tegas dengan alis mata yang melengkung sempurna. Batin liar saya berandai barangkali ia bekerja sampingan sebagai selebgram atau semacamnya. Sebab gantengnya paripurna, terlalu tidak masuk akal!
"Oh, iya, boleh," Ujar saya pelan. Bingung. "Fotokan saya dengan teman-teman saya, gimana? Saya lihat kamu bukan anak fakultas saya, jadi sepertinya tidak ikut perayaan wisudaan," Jelasnya dengan ukuran cukup panjang sebagai orang asing.
Satu fakultas pun mungkin saya tidak ikut perayaan wisuda, kan saya tidak mengenal kakak tingkat sama sekali, batin saya dongkol sendiri. Cowok ini sepertinya sedikit cerewet dan suka merembet ke hal-hal yang tidak penting, begitu pikir saya.
"Oke," Ujar saya, menengadahkan tangan untuk kemudian ia menyerahkan kamera sederhana dan satu buah telepon genggam milik temannya.
"Okayyy!!" Cowok itu berteriak keras. Saya sampai kaget dibuatnya. Ramai sekali. Ia kemudian dengan cepat mengatur formasi dengan, sepertinya anak geng dan semacamnya, saya juga tidak tahu pasti. Beberapa kali cekrek, saya tidak hentinya kehilangan fokus dengan cowok hoodie putih satu itu. Gayanya sungguh diluar kendali. Lebih aktif ketimbang anak lelaki pada umumnya.
Setelah kurang lebih lima foto saya hasilkan, gerombolan cowok tersebut bubar untuk melihat hasilnya. Mengambil kamera dan hape dari genggaman saya untuk kemudian tertawa dan mengomentari isinya satu-persatu. Saya yang canggung kemudian berinisiatif mundur dan melenggang pergi. Toh, tugas saya sudah selesai, kan?
"Eh, kamu!" Lelaki itu lagi. Saya terdiam. Ia menghampiri saya dengan langkah-langkah besarnya yang heboh. "Makasih, ya," Ujarnya tulus. Ia tersenyum dari telinga ke telinga. Saya tertegun melihatnya. Senyum itu terlihat sangat cerah dan membuat saya berantakan.
"Oh," Saya yang bodoh dan canggung ini hanya bergumam tidak jelas. "Sama-sama, senang bisa membantu." Ujar saya, mau tak mau tersenyum juga.
"Kenalin, nama gue lucas." ujarnya, menyodorkan tangan besarnya ke hadapan wajah saya. Iya, wajah. Saya yang tidak terlalu tinggi dihadapkan dengan raksasa tampan macam ini. Jelas sebuah perbedaaan jarak yang tidak manusiawi. "Anak fakultas hukum, barusan yang wisuda temen satu ukm gue." ujarnya yang, lagi-lagi, too much information banget. Tapi masa bodohlah, saya entah kenapa senang mendengar nada bicaranya. meskipun melompat-lompat dari menggunakan saya kamu ke lo gue. Aneh, tapi saya sepertinya siap hanya untuk mendengarkan ia berbicara selama beberapa menit-menit berikutnya.
Hush, saya sudah melantur sepertinya.
"Raina," Ujar saya pelan, menjabat tangannya. "Anak FISIP," ujar saya yang, aduh, siapa juga yang bertanya?
"Oke, raina, salam kenal. Mungkin kalau lo tiba-tiba butuh bantuan dan ada gue, jangan sungkan-sungkan, ya!" Ujarnya riang, entah kenapa menggoyangkan tangannya dalam jabatan kami dengan keras, untuk kemudian pergi dengan berlarian sembari menunjukkan gesture 'oke' ke hadapan saya.
"Sampai ketemu lagi, rara!" Ujarnya menggelegar. Saya hanya tertawa.
Anak yang cukup nyentrik. Tertawa seperti tidak ada hari esok. Pengalaman sore yang menyenangkan. Karna untuk pertama kalinya, saya melihat senyum manusia begitu cerahnya, sampai-sampai saya merasa ingin menyimpannya dalam kantong utnuk diri saya sendiri.
Lucas, fakultas hukum, semoga kita benar-benar bertemu kembali, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
adalah kamu
FanfictionSatu cerita singkat tentang lukas, lelaki riang yang saya temui sore itu. Dalam sepuluh rentetan kejadian yang mempertemukan. Tidak ada akhir, hanya ada awal. Sisanya dunia yang menentukan. Huang Yukhei sebagai Lukas.