Sixth miracle.

6 3 2
                                    

Siang ini saya berjalan menuju pintu pagar dengan maksud untuk berjalan santai. Hanya sebentar, mungkin sekitar sepuluh hingga dua belas menit untuk saya mencapai swalayan terdekat di daerah kampus. Mungkin ada yang ingin saya beli. Saya bisa saja memesan ojek daring untuk membantu saya menghemat tenaga, namun saya sendiri bersikeras melawan keinginan agar dapat menghemat sereceh dua receh rupiah yang tersisa di dompet saya. Selain itu saya memang suka berjalan, ada dan tidak adanya kendaraan.

Tidak lupa saya selipkan sebotol bening berisi makanan kucing yang saya siapkan sejak tadi. Iya, makanan kucing. Saya sudah bilang, belum, kalau saya adalah cat-lover? Bukan bermaksud sombong, ya. Tapi saya memang suka berkeliling dan memberi makanan kepada kucing-kucing jalanan. Psst, saya juga terkadang menyemprotkan obat kepada beberapa dari mereka yang terkena penyakit luar.

Sudah lama saya ingin bergabung dengan organisasi atau komunitas pecinta hewan. Atau setidaknya kelompok kecil yang kegiatannya berhubungan dengan makhluk-makhluk berbulu yang sangat gemas ini. Belum sempat kebagian takdir sepertinya, jadi saya memulai petualangan memberi makanan kepada kucing-kucing ini dengan seorang diri dahulu.

Saya berjalan dengan satu tas selempang berisi barang-barang pribadi saya termasuk makanan kucing, tas belanja kain, hingga payung kalau-kalau saya kepanasan dan tidak tahan lagi. Rute yang saya ambil kali ini sedikit lebih jauh, berupa jalan panjang trotoar di dua jalan besar kampus. Kurang lebih sekitar tiga puluh menit saya lihat di google maps. Sedikit melelahkan memikirkannya, tapi tidak apa. Siang ini tidak begitu terik sepertinya, melihat bahwa matahari sedang malu ditutupi awan kelabu.

Ada banyak ruko dan bangunan tua di jalan yang saya lewati. Satu kucing, dua kucing, mereka semua merupakan anak-anak tersesat yang hanya makan dan tidur di bawah pintu pertokoan yang sedang tutup. Berwarna jingga, pekat hitam, dan belang abu, saya sedikit bersedih mengingat ketika hujan badai tidak akan ada yang menyelimuti anak-anak ini.

Hingga botol saya sisa setengah, saya melanjutkan langkah menuju jalan terusan dengan beberapa toko seperti bengkel, pertokoan kelontong, dan warung nasi di pinggirnya. Yang tentu banyak terdapat kucing-kucing baik dewasa maupun anak-anak yang meminta kepada manusia.

Saya berjongkok di depan beberapa kucing yang sepertinya sedang tidur siang. Menggoyangkan botol, membuat suara remahan yang berbenturan dengan plastik membangunkan mereka dari lelap, kemudian bersamaan bangkit dan terhuyung-huyung menuju sumber suara -- saya.

Saya kemudian menuangkan botol yang saya genggam, untuk kemudian menuangkannya di hadapan mereka. Saya tersenyum, bergegas mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan ini. Iya, saya juga suka mengoleksi foto kucing yang saya temui di jalan. "Aih, lucunya.." Saya gemas sendiri. Mereka sebenarnya sangat cantik, hanya belum mandi saja. Kalau-kalau saya pahlawan super, sudah saya selamatkan kucing satu alam semesta. Saya mandikan dan beri makan. Tapi sayangnya takdir berkata bukan.

"Bella, Leon, Pus!"

Beberapa hasta di samping saya terdengar suara yang memanggil. Tidak yakin itu siapa, saya memfokuskan pandangan pada lima anak kucing yang sedang lahap memakan makanannya dihadapan. Sepertinya suara tersebut adalah distraksi bagi mereka, yang terlihat kemudian menoleh ke arah kiri saya, untuk kemudian bergegas menuju sumber suara.

Awalnya hanya dua, tiga, kemudian lima dari lima ekor kucing yang saya beri makan melenggang pergi menuju sumber suara. Meninggalkan beberapa butir makan yang saya beli dengan rupiah saya sendiri. Cemberut kecil, saya penasaran siapa yang memanggil anak-anak ini.

 Cemberut kecil, saya penasaran siapa yang memanggil anak-anak ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lukas?"

"Oh, hai, rara. Kamu.....?" Tanyanya. "Ngasih makan kucing, lu. Yang kamu rebut sekarang," Ujar saya cemberut. "Maaf, deh. Tapi mereka lebih sayang saya kayaknya." Jawabnya usil. Mengelus salah satu kucing berwarna karamel di pelukannya. Membuat saya tertegun, kucing jalanan itu tampak tidak terganggu dalam gendongan Lukas. Faktanya, kelima anak kucing tersebut seperti sudah mengenal lama Lukas melihat dari sikap mereka yang langsung menghampiri.

Hebat juga. Jarang ada anak laki-laki, setidaknya yang pernah saya temui, menyukai dan menyayangi kucing jalanan hingga menggendongnya. Kebanyakan dari mereka hanya sekedar memberi mereka makan, masih untung tidak menendang atau mengusir mereka.

"Kamu tahu kucing-kucing ini?" Tanyaku, melangkahkan kaki sekitar tiga langkah kearahnya. "Tahu," Lukas tersenyum, memegang ujung hidung salah satu kucing yang merengut di pelukannya. "Saya sering lewat sini, kadang-kadang untuk main, dan ketemu kucing-kucing ini deh. Kamu suka kasih makan kucing, yah?" Lukas bertanya, melirik pada botol yang ada dalam genggaman saya. "Saya juga. Tuh, ada di motor." Ujarnya memajukan dagu, menunjuk pada motor sport yang terparkir tak jauh dari kami. Motor besar laki-laki pada umumnya dengan warna hitam legam beserta guratan silver di badannya. Yang di stangnya terdapat satu keresek yang saya asumsikan berisi makanan basah dan cemilan untuk kucing serta satu botol air mineral. Membuat saya tertegun lagi untuk yang kesekian kali.

"Saya kasih nama juga loh. Ini Miki, Mini, Bella, Leon, dan Milo!" Ujarnya menunjuk satu persatu anak kucing yang berputar di kakinya yang panjang. Saya tertawa kecil. "Namanya lucu," Saya memandang pemuda dihadapan saya dengan perasaan campur aduk. Kenapa, ya, tiap hari selalu saja ada yang baru dari dirinya. Seperti sepotong lapis legit yang semakin manis ketika tiap helainya dikonsumsi.

"Kenapa? Saya tampan ya, ra?" Tanya Lukas. "Iya," Jawab saya lugas, berusaha tak malu-malu walau sebuah palu godam serasa menimpa kepala saya yang dengan bodohnya melantangkan jawaban. "Bercanda tapi," Ujar saya, ingin melihat reaksinya. "Yah, kok gitu, ra!" Ujarnya ceriwis. Saya hanya membalasnya dengan senyum, seraya mengelus salah satu anak kucing yang ada -- yang saya asumsikan, namanya miki melihat motif hitam yang seakan menaungi kepalanya seperti tokoh micky mouse.

"Kamu suka kucing? Punya dirumah?" Tanya Lukas membuka pembicaraan. "Suka sekali. Tapi ibu belum mengizinkan. Jadi saya cuma bisa sayang kucing-kucing yang ada di jalanan kayak gini." Saya meringis memikirkan respon ibu ketika saya bilang ingin memelihara kucing. "Satu keluarga gak ada yang suka. Dan saya gak ada di rumah, jadi saya rasa dua atau tiga tahun lagi setelah lulus baru bisa." Jelas saya sedikit panjang. "Kalau punya kucing, mau diberi nama siapa?" Tanyanya, menatapku dengan bola mata kelerengnya yang memesona.

"Mungkin dari nama saya? Biar kembar begitu." Saya berfikir. Jujur belum pernah memikirkan hal ini, sih. Karna izin saja belum dapat, boro-boro memikirkan nama. "Rara? Raina dan Rara?" Tanyanya. Ah, seketika saya ingat akan sesuatu yang ingin saya tanyakan dulu.

"Oh iya, sebetulnya saya punya pertanyaan yang mau saya tanya dari dulu." Ucap saya. "Apa?" Lukas mendongak, meletakkan kucing-kucing tersebut di depan makanan yang sudah ia siapkan sedari tadi -- secara ribut, tentunya. "Kenapa kamu panggil saya rara?"

"Hmm," Lukas bergumam. "Kenapa kamu panggil saya lulu?" Tanyanya balik. "Saya gak pernah panggil kamu lulu!" sanggah saya. "Why not?" Tanyanya lagi. "Kenapa lulu?" Tanya saya. Sudah berapa kali kami saling melempar pertanyaan ini ya.

"Karena kamu rara." Jelasnya, yang sangat tidak menjelaskan apapun. "Rara, saya kira lucu aja." Ucapnya. "Panggil saya lulu aja, ra." Ucapnya, mengedipkan matanya berkali-kali. "Okay, lulu?" Tanya saya tidak yakin. Lukas mengangguk puas. Saya rasa nama lulu lucu juga.

"Lulu dan Rara. Cocok juga kalau di undangan," Ujarnya. Seketika membuat saya tenggelam dalam pikiran. Undangan? Undangan??? Un-da-ngan??? Undangan apa yang dia maksud??

Lukas cekikikan kecil, menatap saya yang tampak sudah kehilangan arah. Saya berdiri, memutuskan untuk menghentikan situasi keaiban yang akan terus terjadi. Sebelum saya melanjutkan tingkah-tingkah memalukan akibat tidak tahan dengan mulutnya yang berbisa. Berbisa manis maksud saya.

"Saya, duluan ya." Saya terdiam dengan pipi yang memanas, membalikkan badan seperti lego yang baru dibeli dan melangkahkan kaki.

"See you, rara!"

Saya tidak akan menoleh!! Awas saja!!

"Lulu bilang see you!!"

Astaga.

adalah kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang