Third coincidental.

9 4 2
                                    

That you two exist on two different worlds now.

Conan Gray, Astronomy.

Saya sedang sendiri sembari mengetuk pinggiran laptop saya ketika pegawai kafe tempat saya berada bersorai, "Selamat datang!" Seperti cctv otomatis, saya menoleh ke arah pintu tempat suara tersebut berasal. Rupanya dua sejoli yang masuk dengan bergandengan tangan. Saya menghembuskan nafas. Huh, memang cinta seindah itu ya? Batin saya gemas kemudian fokus kembali menghadapi tugas-tugas perkuliahan di hadapan saya. Merasa buntu dengan bentangan kata yang tidak berujung, kursi saya berderak seiring dengan pergerakan saya menuju kasir untuk memesan segelas cokelat dingin.

Sesingkat angin, saya kembali dengan menunggu pesanan saya tiba beserta nota di genggaman. Kembali berkutat dengan tugas-tugas kehidupan sembari menyalakan irama kesenangan sebagai teman saja. Mendudukkan diri di sudut paling ujung ruangan sepertinya berhasil. Buktinya saya telah menghasilkan dua buah tugas selama satu setengah jam kebelakang.

Tugas dengan tenggat waktu hari ini telah usai, saatnya saya meniti tugas untuk hari selanjutnya. Hitung-hitung sebagai persiapan di kemudian hari, siapa tahu ada yang mengajak jalan sehingga saya tidak akan menolak dengan alasan tugas. Meskipun sepertinya tidak akan ada yang mengajak, sih.

Saya tipikal orang yang membingungkan. Ketika saya fokus, dunia seperti tidak ada rupa dan suara. Seperti senyap dan tidak ada halang rintang. Tapi terkadang saya juga dapat buyar konsentrasinya walau dengan setitik suara kucing kecil yang mengeong di samping kaki saya.

Ramai-ramai di pintu masuk membuat sebagian besar pengunjung menatap ke arah suara. Saya yang membelakangi, kali ini memutuskan untuk tidak menoleh lagi. Sepertinya segerombolan pemuda yang masuk dengan jumlah sekitar lima orang. Terdengar dari suaranya yang serba berat dan sangat berisik, mungkin mereka adalah satu geng perkuliahan atau bahkan sekolah yang mampir untuk nongkrong di sore hari.

Posisi saya yang tepat berada di sebelah pintu yang membedakan area outdoor dan indoor cafe membuat saya seringkali berpapasan dengan muda-mudi yang lewat. Semerbak vanilla, buah-buahan, hingga parfum bayi sekalipun sempat mampir di indra penciuman saya. Manusia memang beragam, ya, rupa dan baunya. Hingga ketika gerombolan pemuda tadi -- yang berisik di pintu masuk melewati saya, sebuah harum yang tidak familier menerpa hidung saya. Parfum lelaki namun dengan sejumput rasa segar pepohonan hutam membuat saya yang kepo tentu saja mendongakkan kepala saya sedikit. Oh!

Lukas dan teman-temannya.

Iya, lukas yang hukum itu. Terdapat satu pemuda diantaranya yang memanggil namanya kala terakhir kami bertemu. Sekitar satu atau dua minggu yang lalu, saya rasa.

Tentu tidak heran apabila mahasiswa kampus kami berpapasan dengan kenalan satu sama lain. Kafe yang saya tempati ini, adalah terkenal di kalangan teman-teman karena interiornya yang apik dan harganya yang manis. Rupanya Lukas dan kawan-kawan memilih area luar ruangan untuk bercengkerama. Ah, apa pula peduli saya? Kembali ke kenyataan, saya kemudian berusaha memfokuskan pandangan menuju tugas-tugas saya yang ada di hadapan.

Dua menit mengunyah sebuah kukis vanila di genggaman, sebuah perasaan menghampiri batin saya. Tahu, tidak, perasaan sedang diawasi seseorang? Bukan maksud tinggi hati, namun saya merasa sepasang mata mendarat ke arah saya selama dua menit lamanya. Saya menunduk kepada diri sendiri. Tidak ada yang aneh, kok, dengan setelan saya saat ini. Mengedarkan pandangan, saya tidak bertemu tatap dengan sosok yang saya pikir sedang melihat ke arah saya. Hmm, aneh.

"HAHAHAHA!" Sebuah tawa tiba-tiba menggelegar menerpa langit-langit kafe sore itu. Saya yang berada di sisi dalam ruangan kafe pun tahu bahwa itu berasal dari meja Lukas dan teman-teman. Benar-benar temanmu, cerminan dirimu ya. Saya melirik sekilas, berusaha tidak terlihat sangat penasaran. Rupanya mereka bermain kartu uno, menilik dari seruan kata uno yang dilontarkan sedari tadi.

 Rupanya mereka bermain kartu uno, menilik dari seruan kata uno yang dilontarkan sedari tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sore itu Lukas mengenakan jaket hitam dengan kaos sama pekatnya. Entah mengapa, cahaya matahari yang hangat kala itu menerpa wajahnya terlihat sangat indah dan mempesona. Lukas memang tampan. Namun, tidak hanya tampan yang cukup kuat untuk membuat perempuan menolehkan kepala. Senyum lebarnya itu, saya rasa adalah daya tarik tertingginya.

"Cokelat dinginnya, kak."

Suara tersebut seketika mengalihkan pikiran saya dari lamunan singkat tadi. "Oh, terima kasih, kak." Ucap saya beramah tamah sembari menerima gelas dingin tersebut. "Ngelihatin meja yang rame itu, ya kak?" Tanya kakak pelayan tersebut. Rupanya saya sedari tadi melamun dengan pandangan menuju ke satu arah spesifik. Kepalang basah, saya jawab saja. "Iya, kak, kakaknya kenal?" Entah mengapa justru tanya yang keluar dari mulut saya.

"Wah, langganan, mereka itu kak. Salah satunya berteman dekat sama pemilik kafe. Sering datang kesini membawa teman-temannya, jadilah mereka semua teman main owner kafe." Ujar kakak pelayan seakan bergosip. "Ohh, siapa yang jadi teman pemilik kafe?" Tanya saya penasaran. "Itu, kak, yang tawanya paling besar. Pakai jaket hitam." Saya entah kenapa tersenyum lucu. "Kayaknya emang paling ramai, ya, kak." Saya tertawa tipis menghadap kakak pelayan kafe. "Terkenal banget, kak, doi. Artisnya fakultas hukum." Kata kakak pelayan, membenarkan tag namanya yang miring. "Oh, kakak kuliah disini juga?" Tanya saya. "Tinggal skripsi aja, jadi cari-cari kerja sampingan." Ujarnya tersenyum. "Di FISIP," Lanjutnya. Saya hanya manggut-manggut saja memahami. "Kamu?" Tanyanya.

"FISIP juga kak, masih semester tiga tapi." Saya melirik kembali meja lukas yang -- entah halu atau tidak, lukas seperti cepat-cepat mengalihkan pandangannya, entah dari apa. Mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya, membaginya dengan teman satu mejanya dan menyulutnya bersama. Saya menghembuskan nafas, membayangkan bau rokok saja sudah nyeri. "Adik tingkat saya dong!" Jawabnya jenaka. "Saya pergi dulu kalau begitu, emm..?" "Raina." Jawab saya mengerti. "Yeah! Raina, saya Maraka. Lain kali saya traktir kalau ketemu lagi disini." Ucap kakak itu menunjuk tag namanya dengan senyum semanis semangka.

Saya mengangguk sopan, kemudian menghela nafas seraya Kak Maraka hilang dari pandangan. Menoleh lagi ke arah meja seberang yang terpisahkan kaca raksasa.

Menyadari satu kenyataan, bahwa rupanya ada dua manusia dengan perbedaan bagai langit dan bumi.

adalah kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang