Fifth Hallway.

5 3 2
                                    


Pagi ini dimulai dengan berantakan. Saya yang harusnya bertugas mencetak tugas kelompok, mendadak jadi manusia paling tidak berguna setelah sekitar lima tempat percetakan yang saya datangi penuh sehingga tidak bisa menerima cetakan yang saya inginkan dengan cepat. Sebenarnya saya tidak bertugas hanya sebagai pencetak dokumen, ya. Sebuah klarifikasi. Semua teman lain dalam satu grup begitu berhalangan sehingga saya yang tidak memiliki printer maupun kendaraan untuk bergerak di lalu lintas menjadi pilihan terakhir sebagai pencetak, berhubung saya bertempat tinggal di dekat kampus.

Riuh pagi itu kemudian usai dengan cetakan tugas sebanyak tujuh lembar yang berhasil saya dapatkan dari tempat percetakan yang cukup jauh, sehingga menyebabkan saya terlambat sekitar sepuluh menit dari tenggat waktu penyerahan tugas. Dengan banyaknya penjelasan dan permintaan maaf kami sekelompok, dosen akhirnya menerima tugas kami namun dengan permintaan tambahan alias rentetan tugas sebagai hukuman.

Saat ini kami sekelompok bergeming di depan kantin utama tempat berbagai mahasiswa berkumpul. Biasanya, mahasiswa jurusan kami akan makan bersama setelah kelas usai meskipun dengan bersebelahan pada lingkaran pertemanan masing-masing. Issa, satu-satunya kawan dan penyelamat saya, hari itu tidak hadir akibat halangan yang mengharuskannya mengantar keluarganya ke rumah sakit.

"Kok bisa, sih, kamu telat sepuluh menit!?" Gusar Raven, tampak masih tidak puas setelah menggertak sebegitu kerasnya di depan pintu ketika saya baru tiba dengan terengah-engah. "Sudah saya bilang, percetakan itu semua penuh. Ini senin pagi. Lagipula saya juga gak punya motor, kan. Sudah saya tolak di grup kemarin tapi kalian semua gak bisa cetak, jadinya saya." Jawab saya sedikit emosi. Berkeliling sekitar tujuh percetakan dengan tiga diantaranya menaiki ojek daring berkali-kali membuat uang dan kesabaran saya menipis.

"Kamu sendiri kan, yang setuju??" Sahut Vanya mengipasi bara api, menyilangkan tangannya di sebelah Raven. Saya melotot tidak percaya. Oh, jadi ini salah saya?

"Ya saya iyakan karena kalian gak ada yang mau dan gak ada yang balas grup!" Ujar saya sedikit menaikkan suara. "Ya.. kita semua sibuk!" Brandon menyahut dengan terbata-bata. Anak berkacamata satu ini rupa-rupanya juga tidak bersisihan denganku kali ini. "Sibuk tidak sibuk, seharusnya kalian baca, kan grupnya. Soalnya ini tanggung jawab bersama." Saya mengatur napas.

"Ya gak mau tau, pokoknya karena kamu yang salah, kamu yang harus kerjain hukumannya!" Raven sengit membalas seluruh perkataan saya dengan kalimat yang paling tidak masuk akal didengar. Air mata saya sudah berkumpul di bawah kelopak mata saya. Issa, kali ini saya rindu berat dengan kamu. Biasanya dia yang membalas semua perkataan congkak beberapa individu menyebalkan di jurusan yang berurusan dengan saya.

"Saya juga kerjain tugasnya kok, gak hanya print saja. Satu bab pembahasan, itu saya semua yang ketik!" Tentu tidak masuk akal, dong, saya yang banting tulang mengerjakan kemudian disalahkan sebegitu rupa oleh orang yang bahkan mengetik setengah dari prosentase tugas saja tidak. "Gak bisa dong, kamu kan yang udah dikasih tanggung jawab, masa--"

"Raven,"

Suara bariton itu lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara bariton itu lagi. Sepertinya saya bermimpi, soalnya suara itu seringkali mampir menjadi bunga tidur. Mata saya buram oleh air mata, hanya menyaksikan punggung seseorang di hadapan wajah saya.

"Lain kali lagi bahasnya. Apa lo gak malu, dilihatin satu kantin gara-gara beginian? Banyak kating, tuh, di dalem. Lagi bisik-bisik ada ribut apa diluar." "Kenalan lo, kas?" "Ck. Aelah kenal apa kagak gak ada urusannya. Udah sono kalian minggir."

Hanya sepatah itu yang saya dengar. Sepersekian detik kemudian, langkah kaki teman sekelompok saya terdengar menjauh, sementara pemuda di depan saya membalikkan badan dan berkata, "Udah. Mau saya temenin minggir dulu, gak?" Saya hanya bergeming dan melangkah pergi, menyisakan pemuda tadi yang diam-diam berkata lirih, "Diam adalah iya, gak sih?" dan mengikuti saya menuju taman belakang dengan bangku-bangku kecil.

Saya duduk begitupun pemuda di samping saya, yang setelah saya mengelap kasar gumpalan air mata dengan ujung kemeja menjadi jelas sesiapanya. Lukas. Lagi dan lagi. Namun kali ini tanpa wajah tengilnya. Saya jadi tidak ingin menangis, malu. Air mata saya juga tiba-tiba senyap dan tertelan, tergantikan oleh rasa marah luar biasa yang tidak bisa saya ungkapkan saat itu juga.

"Thanks." Ucap saya. "No problem," Ujarnya menyodorkan tisu yang, astaga, pasti tisu makan yang ada di atas setiap meja kantin. Saya tertawa kecil sembari menerimanya. "Makasih, tapi kayaknya saya gak nangis." Alis Lukas terangkat satu. "Yakin? Saya bisa pergi kalau kamu mau." Jawabnya tenang. "Atau tetap disini tapi sambil balik badan." Tambahnya.

"Hahah. Tapi benaran, saya gak jadi nangis. Tiba-tiba menguap aja." Ujar saya memilih mengelap hidung saya yang basah akibat menahan tangis. Hening sesaat menerpa. "Kamu kenal Raven?" Tanya saya. "Iya." Jawabnya. "Adik dari teman kakak saya," Jelasnya. "Nyebelin ya?" Tanyanya. Saya mengangguk berkali-kali. "Maaf kalau saya curi dengar, tapi kamu gak salah kok. One hundred percent. Temen-temen kamu yang bermasalah." Kata Lukas, menghembuskan nafasnya keras. "Tiga lawan satu, jelas kalah dong. Meskipun kamu di pihak yang bener," Lanjutnya menggebu-gebu. Tangannya bergerak kesana kemari seakan meninju udara.

Saya tertawa, "Ini bukan tinju, lu. Ada-ada aja sih." Ucapku. Amarah murka yang tadinya bergerombol di hati seakan menyublim begitu saja mendengar kalimat-kalimat ringan dan lucunya. "Kamu panggil saya apa, tadi?" Tanyanya tidak yakin. "Lukas," Jawab saya. "Bukan, pendeknya." Ujarnya menatap saya dengan bola bola matanya yang berbinar. "Kas?" Tanya saya. "Aih, bukan! Kamu sengaja, ya?" Saya tertawa lagi. Seru lihatnya. "Lu?" Lukas bertepuk tangan, lalu dengan heboh berdiri. "Iyaa!!" Serunya riang sekali.

Seraya mengibas tangan saya untuk menyuruhnya duduk, saya kemudian bertanya, "Memang kenapa kalau lu?" Tanya saya. "Gak ada yang pernah pakai lu kecuali keluarga saya." Jelasnya. "Oh, maaf kalau gitu. Gak akan saya --" Lukas buru-buru menggeleng. "Gakpapa kalau kamu yang panggil. Saya suka."

Sebuah kalimat yang memicu ledakan di sanubari saya seiring keheningan lima detik lamanya di antara kami. Buru-buru ingin menyambung konversasi, saya menyahut, "O-oh, yasudah kalau begitu. Kalau kamu, kenapa pakai saya dan kamu? Kayaknya tadi saya dengar kamu pakai lo-gue." Ucap saya, merasa aneh dengan lo-gue yang tidak pernah mampir di kosakata saya. "Oh, itu. Kalau saya ngobrol sama kamu aja. Biar sama."

Ledakan kedua. Kali ini sangat besar.

"Tapi kalau mau pake lo-gue juga gak apa-apa kok," Lirih saya dengan pandangan kosong. Memutar kembali di ingatan dua kalimat yang sangat berdampak pada hati dan kewarasan saya. 

"Gak, ah. Biar spesial."

Ledakan ketiga. Astaga, Lukas dan mulut manisnya.

"Udah selesai marahnya?" Tanya Lukas, kemudian berdiri dan merapikan celananya dari debu di bangku taman. "Sudah," Jawab saya, meskipun tidak juga sebenarnya. Hanya mereda sesaat. "Sedihnya?" Tanyanya lagi. "Sudah, lukaaaaas..." jawab saya, bingung kemana lagi arah pembicaraan ini.

"Suka soto ayam?" Tanyanya. "Suka," Saya mengangguk bingung. Siapa pula yang tidak suka soto di dunia ini? Aneh.

"Yaudah, yuk. Saya pesenin satu." Ujarnya. "Temanin saya makan. Kayaknya teman saya juga udah pada cabut. Tenang, saya traktir kok."

Dan.... Boom.

Ledakan keempat ini kemudian resmi menjadi tanda bahwa saya sudah jatuh sepenuhnya pada Lukas. Pemuda hukum yang saya temui sore itu. Pemuda hukum yang menawan. Pemuda yang riang, tersenyum seperti pelangi hinggap selamanya. 

adalah kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang