Ninth Insecurities

8 3 2
                                    

Hari ini saya menuju kampus bukan untuk menimba ilmu, apalagi untuk dipersuruh dosen. Dalam sekali seumur hidup, saya menuju daerah kampus untuk menonton pertandingan piala rektor yang diadakan oleh universitas. Pertandingan ini ada beragam, mulai dari kompetisi fisik seperti basket, futsal, hingga perlombaan game online yang akhir-akhir ini digandrungi seluruh lapisan masyarakat. Tadinya saya ingin menyisihkan waktu saja untuk bergelung di selimut kosan sembari mengecas tenaga saya untuk menyambut esok hari. Lumayan, kan. Tiga hari libur yang sangat tidak pantas untuk disia-siakan.

"Ayo!" Tapi tentu saja Issa, yang sedang menarik tangan saya saat ini, mengajak saya dengan seribu alasannya. Sekali-kali pergi ke kampus gak untuk belajar! Orangtuamu bakalan nangis kalau tahu anaknya kerjanya cuma belajar! Begitu ujar Issa tempo hari.

Tidak mungkin, sih. Tapi saya rasa orangtua saya akan cukup sedih melihat anaknya jikalau menolak. Saya akhirnya mengiyakan. "Kemana? Bukannya sebentar lagi futsalnya mulai, ya?" Tanya saya, menunjuk pada lapangan sedang yang ada di tengah kampus. Lapangan yang biasanya digunakan ketika ospek, yang sebenarnya hanya berguna sebagaimana mestinya saat-saat lomba seperti ini. "Bukan nonton futsal. Ayo!" Ajaknya lagi. Saya menurut hingga langkah kaki kami berhenti di sebuah stadion yang, lumayan juga ukurannya. Namun bukan tipikal stadion raksasa seperti kepunyaan negara ya. Saya menginjakkan kaki kedalamnya. Issa yang sepertinya mengenali beberapa mahasiswa disini -- yang saya tahu itu dari kemampuan sosialnya yang luar biasa dan berbagai jabatan yang diampunya -- menyapa satu persatu kenalannya sembari menuju bangku tengah stadion. Basket rupanya.

"Siapa yang main? Kenalan kamu?" Tanya saya. "Bukan." Issa menjawab dengan kerlingan di matanya. Bukan? Lantas siapa?

Seperti mengetahui pertanyaan yang sepertinya sudah terpahat besar-besar di dahi saya, Issa akhirnya menjawab dengan dagunya dan menunjuk tengah lapangan, tempat para pemain bersiap-siap memulai pertandingan. Oh, no.

Saya menoleh kepada Issa dengan cemberut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saya menoleh kepada Issa dengan cemberut. "Maksud kamu..... apa?" Tanya saya, yang sebenarnya sudah tahu jawaban dari pertanyaan saya sendiri. "Kamu, akhir-akhir ini kayak ngehindarin seseorang tapi pingin tahu juga kabar dari orang itu, atau cuma perasaanku aja?" Tanya Issa sembari menaik-turunkan alisnya. "Siapa bilang?" Serobot saya. "Muka kamu yang bilang." Jawab Issa. Saya terhentak. "Emang iya, ya?" Tanya saya.

Issa mengangguk. "Gak kelihatan bagi semua orang, sih. Tapi buat aku, apasih yang gak aku tahu tentang kamu?" Tanya Issa. Aduh, kawan favoritku sepanjang masa. "Aduh tapi aku marah ya kamu ajak-ajak gak bilang dulu. Nanti kalau dia tahu aku ada disini, gimana?" Tanya saya sedikit takut akan kemungkinan yang terjadi. Iya, saya memang menggunakan kata aku dan kamu untuk orang terdekat saja. Untuk orang asing atau kenalan yang tidak terlalu akrab, saya batasi diri dengan menggunakan saya dan kamu. Sebagai pembeda saja.

"Justru itu tujuanku, raina. Kalian kayaknya baik-baik aja, sebagai teman, mungkin. Tapi aku tahu ada yang ganggu pikiranmu akhir-akhir ini. Dan itu pasti dia." Jelas Issa. "Karena gak ada yang lain juga," Lanjut saya mengiyakan pemikirannya. Issa mengangguk. "Tuh, tahu."

adalah kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang