"Sampai disini ada lagi yang ingin ditanyakan?"
Suara dosen Pengantar Ilmu Politik saat itu menggema hingga ke sudut ruangan kelas. Kelas besar yang penuh akan mahasiswa satu angkatan tersebut hanya hening dan berbisik-bisik. Kapan pulangnya mungkin pak, batin saya sedikit cemberut. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore lebih, sementara langit sudah menggelap sedemikian rupa. Melirik sekilas pada jam tangan putih yang melingkar di pergelangan, sembari berdesah sebal menyadari bahwa saya kali ini harus pulang malam-malam.
Tempat tinggal saya -- alias kos, sebenarnya tidak bisa dikatakan terlalu jauh, namun juga tidak dikatakan terlalu dekat. Saya yang tidak memiliki kendaraan, hanya memiliki dua opsi yakni berjalan atau menaiki kendaraan ojek daring. Jelasnya, kosan saya terlalu dekat untuk ditempuh menggunakan ojek daring, namun terlampau jauh apabila ditempuh dengan jalan kaki terutama pada malam hari bagi seorang perempuan. Pada siang hari, tidak masalah. Musuh saya hanya kesepian dan sinar matahari. Namu pada malam hari, entah apa yang telah menunggu saya di gang panjang menuju kosan.
Menyadari tidak ada yang hendak bertanya lagi, dosen kemudian bergegas merapikan buku-bukunya sebagai tanda ingin mengakhiri kelas. "Baik, saya akhiri kelas kali ini. Sampai jumpa minggu depan, dan jangan lupa mengerjakan tugas!" Membenarkan kacamatanya, bapak dosen mengakhiri kelas dengan bergegas menuju pintu keluar diikuti dengan segerombolan ribut mahasiswa yang hendak pulang.
"Yuk,"
Itu suara kawan saya, Issa. Teman seperjalanan saya -- yang berarti secara literal yakni teman jalan bersama, berhubung kosannya juga sedekat hati dengan kampus. "Okay," Jawab saya singkat menyandang tas, yang sudah saya rapikan setengah jam sebelum bapak dosen mengakhiri kelas.
"Baru pertama kali ini pulang malam, ya." Ucapnya memecah keheningan diantara kami. "Iya. Biasanya juga sudah diakhiri, kan, sekitar jam 5 sore." Jelasku memberengut. "Ini gara-gara si Anton nih! Pertanyaannya kenapa ga habis-habis, sih!" Sungutnya. Saya tertawa. "Orang jenius emang kayak gitu, kali? Rasanya ada tiga lapis pertanyaan dia kasih. Untung dosennya juga bisa jawab." Ujarku setengah tawa setengah kesal. Baru kali ini juga bertemu dengan sosok individu jenius yang pikirannya dapat melanglang buana dari topik satu hingga topik kesepuluh.
"Kayaknya dia dari kecil emang disuapin buku-buku, deh. Sarapannya. Bukan bubur ayam." Kata Issa, sangat acak sehingga membuatku tertawa. "Kenapa tiba-tiba bubur??" Saya tersenyum luas sekali. "Ya, karna biasanya orang sarapan bubur kan!!" Ujarnya dengan raut wajah yang sangat lucu. "Issa, issa. Ada ada aja, sih," Ucapku.
"Yah, udah di jalan besar." Ucap Issa. Saya cemberut, "Yah.."
Disinilah kami berpisah. Dari seluruh perjalanan, saya dan Issa hanya bisa bertemu setengah jalan. Sisanya, kami berbelok ke kosan masing-masing. "Kamu berani, gak, sendirian?" Tanyanya, menyadari bahwa jalan yang akan dilewatinya penuh ramai pedagang, sementara jalan saya hanya berupa gang panjang nan gelap dengan segelintir warung kopi di sampingnya. Yang biasanya berisi pemuda dan bapak-bapak. "Berani gak berani, sih. Tapi harus berani." Ucapku menguatkan nurani. "Yaudah kalau udah sampe hubungi aku ya!" Issa berjalan sambil melambaikan tangan, mengikuti segerombolan mahasiswa yang hendak melintas setelah menekan tombol penyeberangan. Saya membalas lambaian tersebut sambil tersenyum kaku.
Menghela napas, saya berjalan dengan mulai memasang headset di sebelah telinga. Berjalan di malam hari, sebenarnya tidak terlalu menakutkan bagi saya. Tidak apabila membicarakan mengenai makhluk halus, yang, syukurlah, belum pernah saya temukan. Namun manusia, yang secara sadar dapat melakukan hal apapun bahkan diluar pikiran pada umumnya. Itu yang saya takutkan. Menyetel lagu kemudian menjadi sebuah hiburan, namun tetap waspada sehingga hanya sebelah telinga yang saya hiasi dengan nada. Sementara tangan saya, berpegang pada telepon genggam dengan nomor darurat yang telah saya ketik.
KAMU SEDANG MEMBACA
adalah kamu
FanfictionSatu cerita singkat tentang lukas, lelaki riang yang saya temui sore itu. Dalam sepuluh rentetan kejadian yang mempertemukan. Tidak ada akhir, hanya ada awal. Sisanya dunia yang menentukan. Huang Yukhei sebagai Lukas.