Eighth Jealousy

4 3 2
                                    


Lagi, lagi, dan lagi. Kali ini giliran saya yang ketiga kali membantu ibu dosen mata kuliah umum mengangkat setumpuk tugas ke ruang dosen. Tahu mata kuliah umum? Kalau belum, akan saya kasih tahu. Mata kuliah umum biasanya ada pada semester satu dan tiga. Isinya kurang lebih seperti pengetahuan umum di SMA, dimana jurusan IPA maupun IPS mendapatkannya. Tidak jauh beda, seluruh jurusan di universitas mendapat mata kuliah umum seperti agama dan pancasila.

Bu dosen pancasila kali ini mengakhiri kelas dengan membawa serta tugas yang kami kumpulkan setelah satu minggu dikerjakan. Dan tentunya, saya sebagai ketua kelas yang dipilih secara acak mau tidak mau membawa serta setumpuk tugas-tugas tersebut ditangan. Kewalahan sedikit, sih, karena satu kelas tadi kurang lebih berisi empat puluh anak, dengan tiap mahasiswanya mengerjakan sekitar enam halaman esai. DItambah laptop dan buku tebal yang saya tenteng di sebelah kanan. Berat sekali sih tidak, tapi jumlah kertas yang saya takutkan berterbangan ini sumber masalahnya. Tapi tidak apa, dunia emang ada lika-liku, kan.

"Aku bantuin," Ujar sebuah suara. Saya menoleh. Oh, akhirnya ada yang berperikemanusiaan. "Makasih," Ujarku, tidak mengenali siapa itu. Berhubung ada yang mau membantu, saya persilahkan saja. Dari empat puluh anak yang diacak dari berbagai fakultas, saya hanya bertemu sekitar dua atau tiga mahasiswa dari jurusan sendiri. Mata kuliah umum memang begitu.

"Jendral, anak hukum." Ujarnya sambil menyodorkan tangan. "Raina, anak komunikasi." Ujar saya sembari menggeleng, menolak jabatan tangannya. Menunjukkan kedua tangan saya yang sibuk memegangi kertas dan totebag saya yang sebentar lagi akan meluncur kebawah. "Hahaha, okay." Jawabnya dengan senyum mata yang menawan. "Raina, ayo!" Ujar Bu Dosen di ambang pintu.

"Baik, bu." Saya terburu, mengajak Jendral dengan ajakan mata. Jendral tersenyum, kemudian menyejajarkan posisi seraya kaki kami melangkah bersama. "Nama kamu bagus." Ujarku, membuka basa-basi saja. Hitung-hitung perkenalan dan menambah relasi di luar kelas. "Makasih, kamu juga cantik." Ujarnya.

Tiba-tiba?

Saya merasakan ada aura tidak menyenangkan. Sepertinya laki-laki ini penebar pesona profesional, ya? Barang dua detik bertemu, sudah memuji cantik saja. "Makasih...." Saya bingung menanggapi. Jendral memang tampan sih, tapi saya tidak tahu respon apa yang akan ia nampakkan nanti ketika saya balik memujinya tampan. "Hahaha, bercanda. Aku gak se playboy yang kamu kira, kok." Ujarnya, tersenyum simpul seraya kami menaiki tangga menuju lantai selanjutnya. Saya menghela nafas lega, sembari tersenyum canggung bahwa ia mengetahui isi pikiran saya.

"Omong-omong, aku jarang lihat kamu, ya. Meskipun fakultas kita sebelahan. Aku juga banyak teman anak komunikasi, tapi rasanya belum pernah ketemu kamu waktu main ke gedung FISIP?" Tanyanya. Oh, ternyata kupu-kupu sosial yang mengepakkan sayapnya ke seluruh fakultas. "Emang jarang main, kok. Tipikal habis kuliah, pulang." Jelasku. "Siapa nama teman komunikasi kamu?" Tanya saya. "Eum, Aji, Haikal, kadang-kadang juga main sama Chandra, anak HI, tahu?" Tanyanya. Saya menerka-nerka. "Oh, gerombolan yang suka ramai di ujung kantin itu, ya?" Tanya saya tanpa filter. "Hahaha! Iya, kamu kenal sama mereka?" Tanyanya, menampakkan senyuman matanya yang tak hentinya terbit.

"Gak begitu dekat, tapi saya kenal Aji gara-gara pernah satu kelompok mata kuliah. Anaknya sedikit pendiam sih, kayak saya." Ujar saya. Jendral mengangguk-angguk. "Benar, sih. Tapi kalo sudah kenal, anaknya seru, kok!" Ujarnya. "Mungkin, ya." Jawab saya.

Kami akhirnya tiba di pintu depan ruangan dosen. Setelah meletakkan tumpukan kertas dan berpamitan dengan dosen yang ada, kami berdua keluar dari ruangan.

"Oh iya, Raina. Habis ini, kamu mau kemana? Ada janji?" Tanya Jendral. Saya berfikir, sebenarnya tidak ada, sih. Tapi kan saya belum benar-benar mengenal pemuda yang sepertinya baik dan santun di hadapan saya ini.

"Ada."

Kami berdua bingung. Sepertinya itu bukan suara saya, pun bukan juga suara hati saya yang tanpa sadar terucap. Kami menoleh bersamaan.

"Sama gue janjiannya." Lukas lagi, lagi, dan lagi. Pemuda satu ini kayaknya jatuh dari langit, ya. Selalu saja muncul tanpa aba-aba dari siapapun. Saya yang bingung menaikkan alis saya, 'Kapan saya punya janji dengan kamu?' Tanya saya dalam hati.

"Oh, Hai, Bang. Beneran..... ada janji?" Tanyanya kepada saya. Saya yang masih bingung hanya bisa membisu tidak berguna. "Iya." Lukas lagi yang menjawab. Dengan sangat singkat, padat, dan jelas. Saya rasa ada aura suram dan tidak menyenangkan lagi dari dirinya hari ini.

"Yaudah, deh, Rai. Mungkin lain kali." Jendral melambaikan tangan, yang kemudian saya balas dengan lambaian tangan pula dan senyum tipis. Setelah Jendral menghilang di tikungan, saya berbalik dan menatap Lukas bingung. "Memang kapan kita janjiannya?" Tanya saya, barangkali saya yang lupa.

"Sekarang," Jawabnya sekenanya kemudian berjalan mendahului saya. Sangat tidak seperti dirinya yang biasanya. "Mau kemana?" Tanya saya penasaran. Lukas hanya mengangkat bahunya. Mukanya terlihat masam. "Pulang?" Lukas tidak menjawab. "Makan?" Tidak ada jawaban lagi. "Main?" Hanya langkah panjang Lukas yang terdengar darinya.

 "Main?" Hanya langkah panjang Lukas yang terdengar darinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yasudah saya bilang ke Jendral aja kalau--" Lukas menoleh. Langkahnya terhenti. "Jangan sama Jendral." Ujarnya. "Sama saya aja." Lanjutnya. "Kenapa memang kalau sama jendral?" Tanya saya. "Gak boleh." Ucapnya. Dahi saya menyatu. "Okay, dan kenapa gak boleh? Ada yang bahaya dari Jendral?" Tanya saya lagi.

"Iya. Bahaya pokoknya. Super duper. Seratus persen." Dapat saya lihat bibirnya mengerucut. Auranya seperti mendung, tapi saya tidak tahu apakah dia ini gusar atau marah. Teringat gesturnya yang sangat mirip dengan ketika ia marah pada tempo hari -- yang sangat menyeramkan -- membuat saya menghentikan langkah ketika kami sudah berada di depan gedung serbaguna.

"Kamu marah sama saya?" Tanya saya. Lukas sempurna berbalik. Menatap saya dengan mata besarnya. "No. Bukan, lah. Gak mungkin, Kenapa juga saya harus marah?" Tanyanya, bingung dengan pertanyaannya sendiri. "Kamu kelihatan persis kayak kamu lagi marah tiga hari lalu di fakultas hukum." Jawab saya lugas.

Lukas terlihat berfikir sejenak, kemudian mengusap wajahnya. "Enggak, ra. Saya nggak marah sama kamu. Saya cuma -- gimana ya ngomongnya." Lukas bingung sendiri. "Kamu berantem sama Jendral?" Lukas menggeleng. "Jendral temen saya, kok." Ucapnya membela diri. "Terus?" Tanya saya menuntut. Mengumpulkan berbagai kemungkinan di otak saya. Sebenarnya ada satu kata yang saya ingin tanyakan, dan satu kata itu sudah mengapung di dalam lautan pikiran saya sedari tadi. Namun, seperti biasanya, saya tidak akan mampu menanyakannya pada pemuda di hadapan saya.

"Saya cuma, gak suka lihat kamu sama laki-laki lain."

Saya tersenyum, tanpa sadar lebar sekali. Menatap pemuda dihadapan saya yang tampak menyesali kalimat yang baru ia keluarkan. Pemuda yang kini menutup mukanya menahan malu setengah mati. Dengan saya yang kini berdiri, menahan orkestra jantung saya yang mengeluarkan melodi tanpa henti. "Apa?" Tanya saya, meyakinkan pendengaran saya sendiri. "Gak, ah." Ujarnya. "Saya gak dengar. Mau ulang, gak?" Tanya saya, iseng. Lucu sekali melihatnya. Mukanya merah padam, menggeleng-geleng seperti bola bowling yang menggelinding. "Lulu? Saya gak dengar." Ujar saya, melangkah mendekatinya yang mundur satu langkah. "Udah, ah. Saya pergi dulu, ya." Ujarnya, sambil tetap menutup mukanya dengan sebelah tangannya yang raksasa. "Bye," Ujarnya lalu lari terbirit-birit. Saya tersenyum semakin lebar melihatnya.

Tahu, tidak, satu kata yang saya ingin tanyakan padanya sedari tadi? Semenjak saya melihat Lukas di seberang balkon, menatap kami berdua dengan tatapan yang tidak menyenangkan?

Lukas, kamu cemburu?

Ternyata pertanyaan itu sudah dia jawab sendiri. 

adalah kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang