Seventh Anger

6 3 2
                                    


Saya sedang duduk di salah satu bangku dekat ATM kampus ketika seorang laki-laki menghampiri saya. Dan mendudukkan dirinya disamping saya tanpa izin -- tidak masalah sih, hanya kaget saja. "Hai." Ujarnya. Saya menoleh. Pemuda teman lukas saat itu. "Rara, ya?" Tanyanya. Saya mendengus. "Raina, sih, sebenarnya." Jelas saya. Pemuda di depan saya melongo kemudian menutupnya dengan sebelah tangan sembari menyerukan dengan melengking, "Udah punya panggilan spesial astaganaga!!"

Saya hanya terkekeh kecil. "Siapa nama kamu?" Tanya saya. "Hendri." Jawabnya. "Gue duduk disini, ya! Jarak aman, kok, tenang." Ujarnya menoleh ke samping kanan dan kiri, seperti panik ada yang memergoki. Memanjangkan tangan menunjukkan jarak saya dengan dia yang kurang lebih satu siku. "Iya, hendri. Teman Lukas. Pasti udah tahu, sih." Ujarnya. Saya mengangguk mengiyakan. "Lukas kemana?" Tanya saya, yang entah mengapa otomatis terucap dari bibir.

"Masih di kelas." Jawabnya, mengeluarkan telefon genggam. "Penasaran, ya?" Godanya sembari menaikkan alis turun naik secara komedi. "Enggak, kok!" Jawab saya menyangkal. Keheningan sesaat melanda ketika Hendri sibuk dengan ponselnya dan saya memalingkan muka, malu dikira terlalu peduli dan penasaran akan eksistensi pemuda hukum satu itu.

"Lukas, agak pemarah pagi ini." Ujar Hendri, tanpa angin tanpa hujan. Saya seketika menoleh, menyudahi agenda memalingkan wajah saya. "Kenapa?" Tanya saya, sebelum sepersekian detik menyadari pertanyaan yang terlalu lancang. "Eh, gak usah dijawab! Maaf, saya agak ga sopan nanya itu." Ujar saya. Hendri menaikkan alisnya. Tersenyum simpul. "Gakpapa. Lo kayaknya beda sama yang lain. Jadi gue kasih tahu, kalau Lukas lagi marah-marah, itu tandanya dia habis berantem sama keluarganya." Jelas Hendri. Membuat saya terkejut setengah mati. "Hendri itu bukannya rahasia, ya??" Saya bingung pusing kepalang.

"Lukas anaknya gak pemarah sama sekali. Kesalahan apapun, mau lo tumpahin minum di mejanya, lo lupa kembaliin bajunya, lo rusak laptopnya, eh nggak, ding, bercanda." Ujar Henderi jenaka, yang, membuat saya kesal. "Serius!!" Jelas saya. "Intinya Lukas kalau diganggu macam apapun itu anaknya bakal ketawa-ketiwi aja, kecuali hari-hari kayak gitu kejadian."

Saya manggut-manggut mengerti. "Saya gak akan bilang siapa-siapa, kok." Ujar saya berjanji. Hendri tertawa. "Biasanya cewek-cewek pada senang cari informasi tentang dia. Cuma lo yang panik setengah mati waktu gue kasih tahu." Saya mengernyit. "Lukas beneran artis hukum ya?" Tanya saya tanpa sadar. Hendri mengangguk. "Seratus buat lo," Ujarnya, menoleh pada gerbang fakultas hukum sekitar lima belas langkah dari kami duduk.

"Tuh, anaknya baru keluar." Mendengar itu saya secara otomatis menolehkan kepala, memusatkan pandangan pada Lukas yang menjulang diantara segerombolan mahasiswa hukum yang keluar dari gerbang.

" Mendengar itu saya secara otomatis menolehkan kepala, memusatkan pandangan pada Lukas yang menjulang diantara segerombolan mahasiswa hukum yang keluar dari gerbang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lukas hari itu terlihat mendung, gemerlap riang seperti tidak ada pada wajah yang biasanya tengil itu. Ia berjalan satu-dua langkah menuju tepi jalan, mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. Dalam panggilan telepon tersebut wajahnya makin mengeras, sebuah wajah yang tidak pernah saya kenal selama bulan-bulan kemarin mengenalnya.

adalah kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang