Tenth Confession

4 2 3
                                    


Konser universitas.

Tiga hari yang sibuk dalam gemerlap pertandingan piala rektor yang digelar untuk memperingati ulang tahun kampus akhirnya tiba di penghujung. Berakhir dengan diselenggarakannya konser yang mengundang beberapa artis dan band kenamaan lokal, saya yang tentu saja diajak serta oleh Issa berjalan menuju tempat dilaksanakan penukaran tiket. Yang sebenarnya hanya pengecekan nama dan nomor induk saja, agar selain mahasiswa aktif tidak dapat masuk.

"Rame banget." Keluh saya. Sedikit kewalahan dengan banyaknya manusia. Sebagai manusia yang sudah cukup senang dengan mendengarkan lagu dari platform daring, mendatangi konser yang penuh dengan ratusan manusia serasa melebihi kapasitas saya. "Sori banget, na. Tapi kesempatan kayak gini ada paling sekali setahun, kan?" Tanya Issa, masih setia menggenggam tangan saya menuju barisan antrean. "Iya, sih." Jawab saya mengiyakan. Saya juga bingung mengapa saya mau-mau saja diajak olehnya. Namun, lebih bingung lagi kepada Issa yang dari sekian manusia yang dikenalnya, saya yang jadi pilihannya untuk pergi ke acara. Mengapa tidak berjuta temannya yang pasti lebih menarik kali lipat dibanding saya, ya?

"Emang gak ada yang ajak kamu kesini, kah?" Tanya saya, penasaran. Jangan salah, Issa dengan segala daya tariknya tentu menjaring beberapa belas lelaki yang ingin kenal lebih dekat dengannya. Issa menggeleng, lalu mengangguk. "Ada, sih. Tapi aku maunya ajak kamu aja deh!" Ujarnya. Kami akhirnya tiba di barisan antrean, yang tentu saja langusng mengular kebelakang sebegitu panjang.

"Kenapa? Ada yang ajak kamu, kah?" Tanya Issa. "Oh, iya. Lupa lagi musuhan." Ujarnya. Sedikit julid. Saya menepuk lengannya. "Siapa yang musuhan sama Lukas?" Tanya saya. "Emang aku nyebut nama ya?" Tanya Issa, menyadarkan saya bahwa saya telah masuk ke perangkapnya. "IH!" Saya balik membalasnya dengan puklan bertubi-tubi.

Hingga pada saat kami masuk ke dalam arena, konser dimulai dengan sapaan dan sepatah kata dari pembawa acara. Malam mulai semakin pekat. Yang terlihat di sekeliling hanya gemerlap lampu-lampu dan sinar telepon pintar yang menyinari wajah-wajah yang memegangnya.

Saya mengedarkan pandangan, barangkali menemukan sosok yang familiar di ingatan saya. Gotcha!

Ketemu juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketemu juga. Tapi bukan sosok ini yang saya kira. Pemuda ini lagi. Yang sudah menghantui pikiran saya selama berbulan lamanya. Yang kini mengenakan jaket kulit yang bercahaya terkena pantulan sinar lampu acara. Yang sedang bersendau gurau dengan segerombolan temannya. Yang sedang tersenyum sungging sebegitu cerahnya. Mungkin memang benar, ya? Satu-dua bulan, cepat atau lambat kami akan saling melupakan satu sama lain. Sedih, sih. Tapi mau bagaimana?

Issa, selain menggenggam tangan saya -- sepertinya takut lepas -- tak hentinya menelepon seseorang sedari tadi kami memasuki parkiran. Entah siapa yang ditunggunya, saya hanya mendengar beberapa patah kalimat seperti 'sudah masuk belum?' dan 'awas jangan sampai hilang' diulang selama telepon tersebut menyambung. Entahlah. Saya sudah pasrah kalau-kalau saya akan pulang seorang diri, setelah Issa berpisah menuju teman-temannya. Bukan sesuatu yang buruk, kok. Kami sudah sering seperti ini dan dalam beberapa kesempatan justru saya yang mengusirnya, menyuruhnya bergabung lebih lama lagi dengan kawan-kawannya.

adalah kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang