Second catch.

14 5 8
                                    

See you again, I guess?

Saya sangat senang menonton drama luar negeri, terutama korea. Salah satu drama yang saya gandrungi akhir-akhir ini adalah drama hukum. Melihat jaksa atau pengacara keren sedang beraksi di pengadilan, membuat hati saya menggebu-gebu. Membela kebenaran, mencari celah dalam kasus, meneliti kesaksian dari para saksi dan korban, menumpas kejahatan dan sebagainya. Sungguh sebuah sosok pahlawan norma yang saya kagum hanya dengan menonton serial fiksinya. Ah, apa seharusnya saya memilih jurusan hukum ya, alih-alih jurusan sosial yang sangat tidak mencerminkan kepribadian saya.

Saya kini sedang merenung di salah satu gazebo di sekitaran kampus. Menunggu teman satu jurusan saya, yang sedang rapat, untuk pulang dan makan siang bersama. Sembari membuka platform streaming drama legal kesukaan saya di ponsel pintar, saya mengisi waktu dengan menyaksikan drama serial hukum tersebut. Dibandingkan menyelesaikan paper yang berada di tangan, ya. Saya menekan tombol play, melanjutkan tontonan yang saya tunda untuk membalas pesan rekan dalam obrolan grup.

"Nonton apa?"

"Astaga!" Saya latah kecil. Terkaget-kaget. Sesegera mungkin menoleh kesamping, menemukan wajah seorang pemuda yang, saya rasa familiar berada di samping saya persis. "Eh, ngagetin ya? Maaf, beneran gaada niatan." Ujarnya sembari menyeringai tengil. Sepertinya saya pernah melihat wajah tengil ini di hari lalu. Siapa?

Menyadari ekspresi kebingungan saya, pemuda di hadapan kemudian memasang ekspresi kecewa, yang, tentu saja akting

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menyadari ekspresi kebingungan saya, pemuda di hadapan kemudian memasang ekspresi kecewa, yang, tentu saja akting. "Kamu gaingat siapa saya ya? Aduh, sakit hati deh. Boleh duduk disini, nggak?" Ujarnya sekelibat cepat kemudian langsung mendudukkan dirinya di pinggiran gazebo, disebelah saya duduk. Meskipun belum saya jawab, huft. "Aduh, maaf.." Saya ingin menanyakan namanya kembali, namun sudah keburu diserobot. "Lukas, anak hukum yang waktu itu." Ujarnya sembari tersenyum. Seketika ingatan saya kembali seperti segerombolan merpati.

Rupanya pemuda jangkung dengan senyum selebar iklan pasta gigi itu. "Maaf, ya. Saya emang, agak lupa kalau urusan mengingat orang baru." Dia hanya menjawabnya dengan tawa kecil dan lambaian tangan. "Gakpapa, santai. Omong-omong, kok kamu disini? Anak FISIP bukan?" Ujarnya. "Iya, lagi nungguin temen rapat." Jawab saya berusaha irit. "Rapat apa? Organisasi? Rohis? Atau UKM? Oh, atau malah BEM? BEM Kampus mungkin?" Tanyanya banyak sekali untuk ukuran orang baru. Tapi anehnya, saya tidak merasa kesal atau terganggu. Padahal biasanya begitu. "BEM Kampus, satu jurusan sama saya dan habis ini mau makan siang bareng." Jawab saya tanpa sadar sangat panjang dan, lagi-lagi, gak ada yang nanya. Sepertinya alam bawah sadar saya menyuruh untuk menjawab panjang setelah mendengar ocehannya barusan. Untuk menghormati saja.

"Ohh," Ucapnya ber oh ria. "Terus, barusan nonton apa?" Tanyanya penasaran, kembali ke pertanyaan utama. "Drama. Serial hukum gitu." Jawab saya singkat, tidak ingin terlalu TMI. "Wah, kok bisa nonton series hukum? Iseng-iseng, atau gimana?" Tanyanya. Aduh kenapa orang ini selalu banyak hal yang ditanyakan ya. Tapi menyenangkan juga untuk membalasnya. "Hmm, alasan spesifiknya sih gaada. Cuman tertarik aja, kayaknya keren banget deh bisa membela kebenaran kayak begitu." Ujar saya sembari menopang dagu. "Hmm, kurang lebih sama sih kayak pas saya kepingin masuk jurusan hukum." Balasnya kecil, namun masih bisa kudengar. "Oh, ya. Kamu anak hukum ya." Ujar saya, sangat garing dan seakan ingin mengakhiri pembicaraan. Padahal, sumpah, saya tidak berniat begitu.

"Iya, rara. Kenapa kamu ga pilih masuk hukum kalau keren? Nanti bisa ketemu saya loh." Ujarnya jenaka. Senyumnya yang lebar kembali ia bentangkan. Saya jadi ikut tersenyum tipis karenanya. "Hmm," Saya bergumam. "Tidak tahu, ya. Mungkin karna saya tidak pintar?" Jawab saya sebagaimana adanya. "Wah, jangan begitu dong. Kesannya kayak semua anak hukum pintar-pintar." Sanggahnya. "Loh, kan memang betul. Kamu pasti hafal beratus-ratus pasal, kan? Atau setidaknya itu, sih, yang saya lihat di series." Ucapku. Lukas tergelak. Tawanya hebat dan menggelegar, membuat saya malu sendiri menjadi perhatian beberapa mahasiswa yang melintas.

"Lukas, malu!" Saya menepuk lengannya pelan. "Oke, oke, sorry." Ujarnya menghentikan gelaknya. "Emang lucu banget, ya?" Tanya saya pelan. "Iya, kamu lucu, rara." Saya terkesiap. "Kamu polos banget. Masa percaya aja yang ada di drama-drama?" Oh. Saya salah sangka ternyata. Untung tidak jadi tersipu. "Ya kita semua cuman manusia biasa. Buat yang hafal ratusan pasal luar kepala, ya hanya tertentu saja. Sisanya manusia biasa seperti kita, ya kalau kerjain satu kasus tentu kita belajar lagi bab itu." Jelasnya. Saya hanya manggut-manggut. "Lagian udah semester berapa, sih, ini. Kamu. Tiga, kan?" Saya mengangguk. "Kamu semester berapa?" Tanyaku cepat. "Sama, kok." Jawab Lukas.

"Eh --"

"KAAAS!"

Lukas menoleh dengan mengernyit. "Aduh," Ujarnya melihat sosok laki-laki lain di ujung jalanan yang melambaikan tangan padanya. Laki-laki tersebut berlari menghampiri kami berdua. "Kayaknya saya harus pergi, rara. Sampai jumpa kapan-kapan, ya!" Ujarnya sembari menggenggam jalinan tasnya dan meraih buku-buku yang tadinya ia letakkan. "Padahal saya mau ngobrol banyak sama kamu. Oiya, nomor --"

"Siapa, kas?" Tanya pemuda berkacamata pintar yang tiba-tiba saja sudah ada di samping kami berdua, yang saya pastikan itu teman Lukas. "Rara. Udah, yuk." Lukas sepertinya terburu-buru, menggeret temannya yang menggumamkan banyak kalimat kepada saya (yang tidak terdengar karena Lukas menutup mulutnya).

"Dadah!!!" Teriaknya lantang sembari melambai. Saya hanya melambai balik dengan sunggingan senyum.

Perasaan apa ini?

Dan, sejak kapan siang hari terik kampus siang ini terlihat sebegitu indahnya?

adalah kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang