Rayadinata baru saja keluar dari kelas ketika ia melihat Hendrasaka sudah menunggunya di ujung koridor sambil bercengkerama dengan Juantama, salah satu teman dekat Hendrasaka yang juga Rayadinata kenal; mahasiswa Jurusan Seni Musik yang sering berkelana sampai ke Fakultas Sastra. Menyadari kalau Rayadinata tengah berjalan ke arah mereka, Juantama lantas menepuk pundak Hendrasaka, secara tidak langsung memberitahunya soal kehadiran gadis itu.
"Ngapain, Wan?" sapa Rayadinata setelah ia berdiri di sebelah Hendrasaka.
"Ini mau ambil kunci mobilnya Hendy." Juantama menunjukkan kunci mobil berbandul unicorn milik manusia yang mengklaim dirinya sebagai Prince Eric dari Bantul itu. "Duluan, ya, Ra. Hen, mobilnya tak balikin nanti malem."
"Jangan lupa bensin."
"Iya, iya, bawel amat," gerutu Juantama, tetapi ia buru-buru tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Rayadinata. Selepas Juantama pergi, tangan Hendrasaka setengah mendorong punggung Rayadinata supaya mereka juga turut pergi ke area parkir motor mahasiswa.
"Ini kita mau makan di mana, Hen? Tumben banget ngajak makan di luar."
"Di Sop Merah, yuk?" jawab Hendrasaka sambil menyunggingkan senyum yang, entah mengapa, tidak sampai di ujung matanya. "Lagi kepingin makan di sana."
"Oke, deh. Omong-omong, si Juan kok sampai minjem mobilmu?" tanya Rayadinata ketika mereka berdua tengah menuruni tangga yang terhubung dengan lobi Fakultas Sastra.
"Mau buat bawa barang apa gitu, nggak paham juga."
"Terus kamu nanti baliknya gimana?"
"Pakai motor dia, toh aku hari ini juga mau ke sanggarnya Mas Theo juga."
"Ah, gitu."
"Tak ambil helm di motornya Juan dulu, Ra. Nanti tunggu di deket gerbang aja."
Mengacungkan ibu jari tangan kanannya, dua anak muda itu kemudian berpisah sesampainya di area parkir; Rayadinata ke arah Timur, sementara Hendrasaka ke arah Barat.
"Eh iya, semalem jadi dengerin siaran radionya nggak, Hen? Asli, semalem ngeri banget tuh bahas soal tembok kamar yang dipukul-pukul. Aku sebelum berangkat ke kampus tadi iseng nyobain sama Arsa, 'kan kamar kita sebelahan siapa tahu emang beneran bisa kedengeran. Eh, tetep nggak bisa. Baru pas dipukul agak kenceng baru kedengeran, tapi 'kan di siaran kemarin disebutin kalau temboknya-"
"Ra?"
Rayadinata mengejapkan kedua matanya beberapa kali, merasa sedikit terkejut karena Hendrasaka menyela omongannya secara tiba-tiba. "Apa?"
Hendrasaka menatap Rayadinata yang masih memakan sup ayamnya itu dengan khawatir.
"Kamu sakit?"
"Hah?"
"Nggak enak badan? Kaya pening gitu atau gimana?"
"Apaan, sih?"
"Kamu beneran dengerin siaran radionya?"
"Iya, lah. Dipikir aku bohong?" Rayadinata kini ganti menatap Hendrasaka dengan alis saling bertautan, mulai merasa tidak nyaman dengan pertanyaan pria itu barusan. "Kenapa nanya kaya gitu?"
"Masalahnya aku kemarin nggak denger siaran apa-apa dari radio kampus, paling terakhir cuma punya Mas Adit terus udah, nggak ada apa-apa."
"Hen, aku tahu kamu sering jahilin aku tapi ini nggak lucu, ya."
"Yang lagi jahil sekarang tuh siapa, sih?" tanya Hendrasaka mulai kesal. "Beneran nggak ada apa siaran apa pun, Ra, serius. Siaran gaib juga nggak mungkin, harusnya aku 'ngerasain' kalau ada siaran radio gaib."
"Bohong."
"Ra-"
"Bapak kemarin lusa aja tahu kalau aku lagi dengerin radio, Hen. Bapak, lho, orang yang nggak bisa lihat atau peka sama hal nggak kasat mata kaya kamu. Dan sekarang kamu bilang kalau siaran itu nggak ada? Lucu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Le." Julianto menepuk pundak putranya yang masih asyik menata ulang koleksi komiknya. Arsadinata menoleh, menaikkan sebelah alisnya saat melihat seulas senyum di bibir sang ayah.
"Kenapa, Pak?"
"Kalau besok mbakmu dikado radio baru aja, gimana? Tahu sendiri 'kan, dia sekarang cuma punya radionya bapak yang udah lama itu. Bapak lihat-lihat tuh dia kaya seneng banget punya radio, tiap nugas tengah malem pasti denger suara radio nyala."
"Mbak Rara tuh nggak pernah dengerin radio jam segitu, Pak," ucap Arsadinata sambil kembali melanjutkan aktivitasnya. "Kamar kita sebelahan, dan aku nggak pernah denger suara apa pun dari kamar dia kecuali kalau lagi nyanyi-nyanyi atau ngomel karena tugasnya nggak kelas-kelar."
"Ah, ada kok suara radionya. Nggak begitu jelas emang, tapi ada, wong Bapak denger."
Arsadinata memicingkan kedua matanya ke arah Julianto sesaat. "Ah, kalau kemarin emang dengerin radio dari jam 19:00 sampai 23:30-"
"Masa cuma sampai jam segitu, to? Bapak dengernya sampai hampir jam satu malem, lho."
"Kalau itu nggak mungkin, Pak. Jam segitu aku beneran udah nggak denger suara apa pun dari kamarnya Mbak Rara."