Part 15

17 0 0
                                    

"Terkadang sebuah alasan juga sangat dibutuhkan agar menyelamatkan hidup seseorang. Entah alasan yang logis, ataupun hanya alasan agar tidak terlihat egois, tapi justru malah menampakkan sisi keegoisannya."

-Reiger-

***

Areina's PoV

Baru kutahu, Eiger dan Sina yang kukira pacaran ternyata saudara sepupuan. Pantas saja mereka terlihat sangat akrab, layaknya saudara yang tak pernah adu cekcok seperti kebanyakan orang.

Sepekan lagi sidang skripsiku di mulai. Itu artinya, tak ada lagi waktu bersantai mulai dari sekarang. Sebenarnya aku sudah mempersiapkan segalanya. Tapi tetap saja, aku harus kembali mengecek beberapa materi yang masih sering terlupa saat aku mempelajarinya.

Aku memandangi tumpukan-tumpukan buku yang tercecer diatas kasur minimalisku. Tak terasa, sudah 3 tahun lebih aku hidup mandiri di Jakarta, tanpa pernah dijenguk Oma maupun Rian karena aku tak mau, apalagi papa yang entah dimana keberadaannya sekarang, karena aku juga tidak mau bertanya pada Oma.

Nah, yang membuat aku bingung sebenarnya adalah, mau kemana aku setelah ini?

Pertanyaan itu selalu terputar di otakku. Terngiang-ngiang hingga terkadang membuatku mual jika memikirkannya. Apa aku harus mengurus kontrak kerja agar menjadi pekerja tetap di penerbitan? Atau tetap menjadi editor freelance, dan juga menjadi tukang bengkel di bengkelnya Bang Roni seperti selama ini? Oh ralat, bengkelnya Gerald. Tapi, masa tidak ada perubahan setelah jadi sarjana nanti? Harusnya bisa lebih naik dong jabatannya. Dari yang awalnya pekerja paruh waktu, menjadi pekerja tetap. Semoga saja dipermudah.

Drrtt... Drrtt...

Ponsel yang kutaruh diatas nakas bergetar, tanda pesan masuk. Segera kuambil dan melihat nama yang tertera.

Mbak Salsa.

Astaga, aku lupa. Malam ini aku ada janji dengan mbak Salsa untuk makan malam bersama, sesuai janjinya tempo hari yang sempat tertunda. Segera kubalas pesannya dan bersiap menuju lokasi yang barusan ia kirim. Oke, tidak terlalu jauh dari kost. Aku terpaksa meminjam motor kepada ibu kostku yang baik hati, karena tidak ingin memesan ojol dimalam hari begini. Khawatir.

Lima belas menit kemudian, aku sudah sampai di cafe yang lumayan ramai pengunjungnya. Jelas saja, ini malam minggu. Malam dimana para pemuda dan pemudi, mulai dari remaja hingga dewasa, bahkan yang sudah berkeluarga pun merayakan hari liburnya.

Aku naik ke lantai dua, ke tempat biasa mbak Salsa berlangganan duduk disitu, katanya.

"Rei!" panggil perempuan berkerudung biru yang sekarang melambaikan tangannya ke arahku.

"Udah lama nunggunya ya Mbak?" tanyaku. "Maaf, aku bener-bener lupa tadi, saking penatnya mikirin sidang." Aku menyengir kuda.

"Gak papa kali Rei, santai aja. Kamu mau pesen makanan apa nih, silakan." Kuterima buku menunya dan segera kuselesaikan pesananku.

"Udah seberapa mateng persiapan kamu buat sidang skripsi?"

"Lumayan sih, hehe." Entah, yang kumaksud dari kata lumayan ini bermakna apa sebenarnya. Yang terpenting, tanggapan dari mbak Salsa hanya sebuah gelengan tak percaya.

"Rencana kamu setelah wisuda nanti apa?" tanya mbak Salsa berubah ke mode serius.

"Gak tau Mbak, masing bingung."

"Loh, kok bingung? Harusnya udah mikir dari semester 5 lho."

"Menurut Mbak gimana?" tanyaku, yang langsung dihadiahi sebuah pelototan.

ReigerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang