Part 16

9 1 0
                                    

Saat itu Areina langsung memacu motornya, berpura-pura tidak mendengar panggilan Eiger. Namun, hari ini lelaki itu malah menemuinya dikantin kampus saat gadis itu sedang makan siang.

"Arei, malem minggu kemarin gue liat lo di kafe Serasa. Gue udah panggil pas diparkiran, tapi lo malah langsung cabut gitu aja," ujar Eiger mengawali pembicaraan.

"Oh ya? Gue gak tau tuh," jawab Areina acuh tak acuh.

"Serius gue liat. Lo bareng sama cewek pake kerudung biru kan? Trus lo nunggu temen lo itu sampai dijemput."

"Iya," jawab Areina sekenanya.

"Tapi, bukan itu intinya Arei!" Eiger heboh. "Gue mau cerita, asli deh, masih tentang keluarga gue yang pernah gue ceritain." Areina melirik sekilas, tertarik.

"Jadi, kemarin bokap gue nunjukin foto ke gue. Dan lo tau itu foto apa? Foto kecilnya saudara tiri gue!" Eiger sangat girang saat ini. Entah, seperti bukan dirinya saja pikir Areina.

"Lo nyangka gak sih, Arei. Selama 8 tahunan bareng, gue baru dikasih liat foto saudara tiri gue pas kecil itu kemarin! Gila sih emang, tapi gue seneng banget!" Eiger tidak berhenti tersenyum senang. "Saudara gue yang cewek cantik banget, asal lo tau. Sayangnya, bokap gue gak ngijinin pas gue minta buat dibawa. Takut gue teledor dan hilang, karena itu foto satu-satunya yang dia simpen pas anaknya masih kecil."

"Namanya siapa?" tanya Areina penasaran. Entah kenapa, gadis itu khawatir karena cerita papanya Eiger yang hampir mirip dengannya. Bedanya, papa tiri Eiger terlalu harmonis jika dibandingkan dengan papanya yang menghancurkan keluarga.

"Bokap gue gak mau kasih tau. Katanya sih, takut gue nyari tau tentang kedua anaknya dan malah bikin si bungsu nge-down. Ya gue ngehargai juga sih, karena itu juga buat kebaikan mereka berdua. Khawatir pas anaknya masih pengen self healing, eh malah denger kabar kalo gue saudara tirinya, sedangkan bokapnya gak pernah cerita apa-apa. Jadi, menurut gue sih, biar bokap aja yang ngejelasin akhirnya." Tampak raut wajah pasrah dari Eiger.

Areina mengangguk paham. Kasian juga sebenarnya dengan keluarga mereka. Padahal usia pernikahan sudah terbilang lama, tapi ayahnya tidak langsung terus terang dan menjelaskan tentang semua silsilah kelurga lamanya secara detil.

"Gue habis ini mau ke panti. Ikut yuk! Bareng sama Sina juga," ajak Eiger. Areina berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju.

"Gue tunggu di gerbang keluar setelah kelas selesai nanti. Oke?" Eiger meminta persetujuan Areina. Laki-laki itu hendak beranjak dari duduknya.

"Hmm," jawab Areina, sambil memakan suapan terakhirnya.

Eiger pergi dari hadapan Areina. Laki-laki itu menghela napas pelan, kemudian menghembuskannya panjang. Ia senang, Areina mulai sering diam dan mendengarkannya saat ia bercerita atau menasihati. Tidak seperti dulu yang selalu menghindar dan tidak peduli. Eiger tersenyum tipis, dan menggelengkan kepalanya samar.

***

Jalanan kota macet. Hari Senin memang sering mencetak rekor kemacetan panjang, karena orang-orang mulai beraktivitas lagi setelah libur kemarin.

Suasana yang terik di siang menuju sore ini, ditambah polusi dari kendaraan-kendaraan para pelajar juga pekerja yang pulangnya siang, membuat ketiga mahasiswa beda jurusan itu tidak betah berlama-lama di dalam mobil.

"Gila sih. Gak pernah bisa banget apa ya, nih jalan lengang dikit gitu kek. Maceeet mulu," omel Sina.

"Ya namanya aja Ibukota. Kalo gak macet ya di desa," timpal Eiger.

"Nasib gue dah, terlahir dan tinggal disini." Areina tersenyum tipis mendengar keluhan Sina.

Dua puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di panti asuhan ' ANAK CERIA'. Bunda Rina menyambut mereka dengan senyumannya yang khas. Hal itu yang selalu mengingatkan Areina dengan mendiang mamanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ReigerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang