Part 7

45 4 0
                                    

Setelah mengalami kendala dengan mobil Bayu, kini mereka sudah sampai di basecamp Gunung Penanggungan setelah sebelumnya mampir di rumah tantenya Angga.

"Mas, Mbak, airnya harus cukup ya buat semuanya, soalnya gak ada sumber air di jalur ini. Kita gak tanggung resiko kalo sampe ada yang dehidrasi karena kekurangan air pas disananya," kata salah satu petugas penjaga basecamp. "Mas Angga tolong disampaikan ke temennya."

Angga sebagai ketua tim menyahuti, "nggeh, Mas. Mpun siap sedoyo niki, insya Allah. Matur nuwun sanget nggeh, mpun dielingaken malih," (Iya, Mas. Sudah siap semuanya ini, insya Allah. Terima kasih banyak ya, sudah diingatkan lagi)

Petugas itu hanya tersenyum mendengar jawaban Angga, dan kembali melakukan aktifitasnya mengecek semua data pendaki yang naik dan turun gunung. Bisa dibilang, Angga sudah sangat dikenal oleh petugas disini, karena kebetulan rumah tantenya yang dekat dengan basecamp, juga karena laki-laki itu sering menemani teman-temannya yang ingin mendaki, sekaligus menjadi guide untuk mereka.

"Kita do'a dulu," kata Angga. "Berdo'a menurut kepercayaan masing-masing. Berdo'a, mulai." Laki-laki itu mengomando do'a dalam hati, karena tidak semua orang di tim ini orang muslim.

"Do'a selesai." Angga mengusap wajahnya dan melihat ke arah jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Udah mau jam satu, mending kita langsung mulai aja," sarannya.

Teman-temannya mengangguk setuju, dan mulai melangkah menyusuri medan-medan pendakian Gunung Penanggungan.

***

Sreeet....

"Astaghfirullah!" pekik Areina mengagetkan semua tim dan langsung menoleh ke arah gadis itu.

Gadis itu terpeleset tanah yang licin, karena tidak sengaja meletakkan kakinya tidak tepat pada pijakan yang sudah tertanda di jalur itu. Areina memegang sebuah dahan yang menjulur sebagai tumpuan tubuhnya agar tidak terperosok ke bawah.

Eiger segera turun dari barisan tengahnya dan langsung membantu Areina untuk berdiri, karena khawatir jika gadis itu akan jatuh.

Medan jalur ini sangat terjal. Terpeleset sedikit, bisa terperosok hingga ke bawah, ke batas pos yang baru saja mereka lewati, kira-kira berjarak 10-15 meter dari tempat Areina terpeleset. Jarak yang lumayan cukup untuk membuat orang pingsan, bahkan lebih parahnya lagi hingga koma jika belum terbiasa jatuh dari tempat curam.

"Hati-hati, Arei," ucap Eiger sembari membersihkan keril serta rambut Areina dari tanah dan daun kering yang menempel.

Areina terdiam diperlakukan seperti itu oleh Eiger. Jantung gadis itu masih berdetak cepat karena kejadian tadi, dan sekarang, Eiger berdiri tepat di depan Areina untuk membantunya, menambah pacu jantungnya semakin tak karuan.

"M... Makasih!" Areina tersadar dan langsung menampik tangan Eiger yang masih membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di rambutnya.

Eiger menatap Areina tak percaya. Nih orang punya hati sekeras apa sih? Gitu amat sikapnya, padahal udah di tolongin juga, gerutu Eiger dalam hati. Jujur, sebenarnya dia sedikit tidak peduli dengan gadis itu, tapi Eiger masih mencoba untuk lebih bersabar menghadapi Areina. Bisa jadi, sikapnya terhadap Areina akan membuahkan hasil nantinya.

"Udah Na?" tanya Angga dari barisan paling depan. Laki-laki itu melihat ke bawah, ke arah Areina dengan tatapan yang sulit diartikan. "Lain kali hati-hati, ya, buat semuanya juga. Habis hujan soalnya, 2 hari yang lalu. Jadi tanahnya masih agak licin dan makin banyak debunya."

"Iya," Areina menjawab sekenanya. Tidak biasanya dia terjatuh seperti ini saat mendaki. Gadis itu juga berpikir, padahal biasanya ia akan selalu berhati-hati memerhatikan langkah-langkahnya.

ReigerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang