"Oh, maaf, Nek. Maaf, saya kira teman saya," Farel cengar-cengir sambil menggaruk-garuk kepalanya. Nenek tersebut tersenyum melihat tingkah Farel.
Beberapa orang di sekitarnya melihatnya, ada juga yang nyeletuk, "masa gak bisa bedain anak muda sama si mbah? Hahaha," kelihatannya orang tersebut sudah akrab dengan sang nenek. Agar tidak semakin menjadi pusat perhatian, Farel segera pamit dengan sopan dari tempat itu, menghampiri tempat semula dia berhenti, hitung-hitung berteduh dari teriknya mentari yang mulai menjadi.
Farel pun berkutat dengan ponsel pintarnya, lebih tepatnya bercengkerama dengan BBM, sembari sesekali melihat keadaan sekitar kalau-kalau Mia sudah tiba di sana, ataupun mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan.
CLING! Ada notifikasi pesan dari BBM berupa 'PING!!!' sebanyak tiga kali. Bukan dari Mia, melainkan Keyla.
Farel segera membalas, 'kenapa, Key?'
'Kamu jadi banget tuh ketemuan sama Mia?'
Farel tidak memberitahunya soal ini, dia bertanya walaupun sebenarnya sudah menyimpan sang terduga di pikirannya. Benar saja, Keyla membalasnya, 'iya, si Rudi cerita.'
Farel menampilkan ekspresi senyum pasrah di wajahnya. Tak lama kemudian, barulah datang 'PING!!!' dari Mia. Farel langsung membalasnya, memberitahunya pakaian yang dikenakannya, juga sepeda motor yang digunakan, serta asal memotret tempat menunggunya sekali lagi untuk memastikan bahwa dia tidak kemana-mana.
Makin terasa degup jantungnya, seorang Farel yang akhirnya dapat bepergian sejauh ini tanpa ditemani siapapun. Dengan rasa percaya diri dan keyakinannya, Farel berhasil mencapai satu mimpi kecilnya hari itu. Dia tak dapat berhenti tersenyum dan segera menunduk agar tidak dilihat oleh orang lain.
Ramai lalu-lalang kendaraan di sekitarnya, dengan iring-iringan klakson yang berbunyi bergantian bila pengguna jalan mulai menumpuk tak terkendalikan. Sesekali lancar, sesekali padat. Klakson yang tidak pernah berhenti itu membuat Farel tak menyadari adanya suara klakson di dekatnya. Dia pikir, dia menghalangi kendaraan di belakangnya. Namun, perlahan dia mendengar seseorang memanggilnya.
"Farel!"
"Dia gak dengar. Mungkin salah orang?"
"Nggak, ini beneran dia."
"Majuan, samperin coba."
"FAREL!"
Farel tersentak, terlalu larut memikirkan kebahagiaannya. Ketika dia menoleh, baik Farel maupun Mia, mereka sama-sama terdiam canggung. Mereka sama-sama insan yang tidak percaya bahwa sosok yang mereka saling cintai ini benar-benar nyata. Selama ini, mereka hanya sebatas bayang semu di dalam layar virtual. Sekarang, mereka berhadapan, degup jantung mereka benar-benar menggetarkan dunia siang itu. Sesaat kemudian, mereka menertawakan diri masing-masing, tertawa bahagia karena tak percaya hal ini benar-benar terjadi, sesuai ekspektasi masing-masing.
Farel bertanya sembari tertawa, "kenapa?"
Sementara Mia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, "ih, malu sumpah." Dia dan teman-temannya belum turun dari sepeda motor masing-masing. Mia membawa ketiga orang temannya.
"Ngobrol orang mah," kata salah satu teman Mia yang dibonceng olehnya.
"Tau nih," sahut yang lain.
Farel pun akhirnya berbicara, "oke, aku masih gak tau mau ngomong apa, hahaha. Ini aja dulu, umm... apa kabar?" Farel menyodorkan tangannya, bermaksud untuk bersalaman. Mia akhirnya melepaskan tangannya dari wajahnya untuk bersalaman dengan Farel. Namun, Farel melakukan hal klasik: enggan melepaskan genggaman tangannya.
"Lepasin, ah, banyak orang, hahaha." Farel pun menuruti ucapan Mia, dia juga sadar bahwa mereka sedikit menjadi pusat perhatian.
"Mau kemana nih? Cari jajanan yang murah meriah," kata Farel.
"Ayo," baru saja Mia menyalakan kembali mesin sepeda motornya, temannya menyuruhnya, "lo dibonceng dia, lah!"
"Eh?" Mia menoleh kepada temannya, dia tertawa malu.
Farel mendukung permintaan temannya, "nah, iya udah sini, biar motornya dibawa teman kamu."
Awalnya Mia malu, namun akhirnya mau juga. Dia pun menaiki jok belakang Farel. Kemudian, Farel pun tancap gas mengikuti arahan Mia. Dia tidak dapat menyembunyikan senyum bahagianya yang secerah siang itu.
Tidak jauh dari gerbang komplek tersebut, terdapat penjual sop buah yang menyediakan tempat untuk bercengkerama di sana.
"Mau di sana?" Tunjuk Mia.
"Boleh," Farel pun membelokkan sepeda motornya ke tempat itu, disusul oleh dua sepeda motor yang dibawa oleh teman-teman Mia.
***
"Nih, sop buahnya, dua aja?" Sang penjual akhirnya mengantar dua mangkuk sop buah yang dipesan ke meja tempat Farel, Mia, dan teman-temannya berada.
Mia menawarkan teman-temannya, "kalian gak mau?"
Salah satu temannya menjawab, "nggak, kan kita cuma nganterin lo, Mia. Kita cabut dulu ya? Kalo udah selesai kabarin."
"Lho? Motor gue mau lo bawa?"
"Nggak, kita bonceng tiga aja, ke rumah dia," temannya menunjuk salah satunya.
Mia pun mengiyakannya, dan teman-temannya pun meninggalkan mereka berdua agar lebih bisa menikmati suasana hari yang penuh kesan bahagia tersebut. Mereka mulai menyantap sop buahnya masing-masing.
"Gimana rasanya ketemu begini?" Farel membuka topik percakapan.
"Umm... kamu duluan."
"Ya... aku sih... sumpah, gak nyangka aja gitu, akhirnya bisa ketemu."
"Hehehe, kamu nekad banget, gila! Serius sendirian kemari?"
"Masa sih aku bohong? Hahaha... nanti sempetin foto ya?"
"Iya dong, aku gak nyangka parah."
"Mau aku cubit gak? Memastikan aja kalo ini bukan mimpi, hehehe."
"Ogah, kamu aja sini aku cubitin. Teman-teman aku kalo udah lihat jari aku ancang-ancang, udah pada ampun-ampun, hahaha."
Mereka menyeruput sesendok lagi. Kemudian, Farel bertanya, "kamu bilang apa sama mama kamu kalo mau kemari?"
"Aku bilangnya mau ke rumah yang tadi tuh, yang sekarang lagi ke rumahnya. Nah..."
"Belum boleh juga, ya, pacaran?"
"Ya, begitu... Cuma kalo nanti keciduk, gimana ya?"
"Gak apa-apa, asal kamu buktiin kalo kita baik-baik aja."
"Kalo misalkan gak boleh, terus disuruh udahan, gimana?"
Farel menahan sejenak, lalu berkata, "udah, itu masalah belakangan, Mia... Habisin tuh, nanti dia nangis gak dihabisin."
Selanjutnya, mereka tetap asik bercengkerama. Keduanya terlihat begitu bahagia walau kadang gugup. Hingga keseruan pertemuan pertama mereka harus habis oleh waktu. Temannya menelepon Mia lewat BBM, Mia pun menjawabnya.
"Halo? ... Oh, kenapa? Kecapekan lagi? ... Ya udah, ini bentar lagi kok. ... Iya, say, hahaha. ... Oke," lalu panggilan telepon pun berakhir.
Farel bertanya, "temannya?"
"Iya, kamu mau pulang sekarang atau gimana nih? Teman aku suka kecapekan gitu, mau pingsan dia, gara-gara panas juga cuacanya."
"Oh, kasihan juga. Ya udah, yuk. Lagian, aku juga takut macet sih kalo kesorean. Jam berapa ini?"
"Jam satu," Mia melihat jam tangannya. Farel mengangguk, mereka berdua menaiki sepeda motor masing-masing setelah membayar sop buah yang disantapnya tadi. Mereka berkendara berdampingan karena jalan komplek tersebut cukup luas dan sudah mulai sepi.
"Makasih, ya..." kata Mia disertai senyumnya yang manis.
Farel juga balas senyum, "iya, makasih juga."
Gerbang komplek sudah dilewati, saatnya mereka berpisah di persimpangan jalan, Mia ke kiri, Farel ke kanan.
"Hati-hati," ucap Farel.
"Iya, kamu juga ya, makasih banget," balas Mia. Mereka pun melaju ke jalur pulangnya masing-masing. Selama perjalanan pulang, keduanya tak bisa menyembunyikan senyum. Ini seperti mimpi yang tak mereka kira akan terjadi sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pensil Pendek
Teen FictionSeorang siswa kelas sepuluh bernama Farel menemukan seseorang yang memikat hatinya ketika baru saja mengawali masa SMA-nya. Mereka memang saling mencintai, namun pada akhirnya tak bertahan lama dan justru menjadi sahabat dekat yang saling mendengark...