DUA PULUH ENAM

4 1 0
                                    

"Mantap banget nih! Emang enak banget sih seblak buatan lo, Rel!" Danu memuji makanan yang dibuat dan dijual Farel sendiri akhir-akhir ini. Saat itu, pekan ujian akhir semester Farel dan Rudi telah usai, sedangkan Danu dan Devan—yang sedang bersama mereka—sudah lebih dulu memasuki liburan semester. Seperti biasa, mereka bertamu ke rumah Danu. Ersan dan Yosan sangat jarang ikut berkumpul, mereka tidak di sana hari itu. Mereka berempat sedang menyantap seblak buatan Farel yang tentu saja mereka bayar.

"Eh, gimana? Lanjutin cerita lo yang soal si Brandon itu," kata Danu, sebelumnya Farel sedang menceritakan kisahnya dengan Inka di kampus.

Farel meneruskan, "nah, kan gitu, untungnya tuh—"

"Oh, iya, Rel, kunci motor gue mana?" Rudi meminta, hendak menghampiri sepeda motornya yang terparkir di halaman rumah Danu.

Farel pun merogohnya dari saku celananya dan memberikan kuncinya kepada Rudi, lalu meneruskan ceritanya, "untungnya tuh dia natap gue doang. Setelah itu, ketemu juga dia diam aja."

Devan memotong, "si ceweknya?"

"Cowoknya," Danu meluruskan, Farel mengangguk.

Devan pun bertanya, "oh, berarti lo sama sekali gak diapa-apain sama dia?"

Farel menggeleng mantap, "nggak, ancaman doang. Lagian, gue kan gak salah, toh?"

"Nih, gue lupa kalo gue bawa ini di jok," Rudi kembali sambil membawa kotak bekal, isinya berupa ayam geprek yang lengkap dengan nasinya.

"Ini yang lagi lo pelajarin, Rud?" Tanya Farel.

Rudi mengiyakannya dan berkata, "cuci tangan dulu, coy!"

Danu pun semangat, "ya udah, gue duluan deh," lalu beranjak ke dalam untuk mencuci tangan.

"Gue nanti aja."

"Sama."

Kemudian, Rudi berkata, "eh, tadi bukannya lo lagi ceritain si Mia? Kok jadi ke Inka sih?"

Yang bercerita lupa juga rupanya, "oh, emang?"

"Iya, anjir. Lo lagi ngasih tau pas lo ketemu pertama kali."

"Njir, tadi gue cerita kapan ya? Makanya gue lupa, hehehe."

Devan penuh pertanyaan, kini bertanya kembali kepada topik yang dibahas jauh sebelumnya, "lo udah ketemu beberapa kali, kan? Yang bikin lo putus itu apa? Kenapa?"

"Aduh, anjir, pokoknya pertanyaan Devan tuh gue tau semua jawabannya, lho," kata Rudi kesal. Rudi merasa aneh, seolah-olah menjadi novel yang telah selesai ditulis oleh Farel.

Farel menertawakan Rudi, "hahaha, ya udah, lo mau jawab?"

"Kagak dah," tolak Rudi.

Kemudian, Farel pun menceritakan akhir hubungannya dengan Mia, "jadi gini..."

...

Hari itu, di masa SMA yang tak lama lagi usai, Farel baru saja menyelesaikan soal-soal ujian di hari pertama ujian nasional. Dia ikut serta mengumpulkan teman-temannya yang lain, yang telah keluar dari ruang ujiannya masing-masing.

"Mumet gak?"

"Mumet banget, pengawas gue jutek!"

"Sama, pengawas gue gak asik, njir!"

"Apaan, pengawas gue baik banget, ketawa-tawa mulu sama teman gue yang dekat sama meja dia."

"Rud!" Farel ketika melihat Rudi dari kejauhan. Rudi segera berlari-lari kecil. Salah satu guru melintas dan menegur kawanan tersebut, "jangan berisik ya, teman kalian masih ada yang ujian."

"Siap, Bu!" Salah satunya menjawab.

"Gimana, Rud? Gampang, kan?" Rudi tahu pertanyaan tersebut sebenarnya sarkas. Rudi pun menjawabnya, "gampang banget, nyet!" Semua pun tertawa.

Kemudian, ponsel pintar yang baru Farel nyalakan sambungan internetnya pun bergetar berkali-kali, menampilkan puluhan notifikasi pesan BBM, termasuk di dalamnya adalah pesan dari Mia. Terdapat juga notifikasi yang membuat Farel pusing.

'Sepuluh kali nelpon?!'

Lalu berderinglah ponsel Farel, layarnya menunjukkan bahwa Mia menghubunginya lagi lewat panggilan telepon BBM.

Farel pun memisahkan diri dari kerumunan teman-temannya dan mengangkat telepon tersebut.

"Kenapa sih?" Farel mencoba menahan emosinya dan berusaha untuk tidak terdengar oleh siapapun.

Farel mendengarkan suara di ujung sana, lalu menjawabnya, "nah, sekarang gini, kenapa kamu masih juga posesif ke dia sih? Padahal aku udah bilang, aku udah gak pernah antar dia pulang. Kenapa sih? Kenapa di saat-saat aku dibebani dengan ujian akhir kamu malah bikin ulah? Aku berusaha buat sebahagia mungkin supaya aku bisa ngelewatin masa-masa akhir sekolah aku dengan ringan. Aku mumet banget ini mikirin ke depannya aku bakal gimana dan di mana. Please, jangan kayak gini! Udah dua mingguan kamu gak kenyang-kenyang bahas ini! Udah aku kasih kontaknya, tapi kamu gak juga komunikasi sama dia."

Dia diam, menghela napas sejenak sembari mendengarkan Mia berbicara. Setelahnya, dia berbicara lagi, wajahnya terlihat semakin geram, "kapan aku pernah larang kamu dekat sama teman cowok kamu? Kenapa aku gak larang? Karena aku percaya sama kamu! Gila, berhari-hari aku ngomongin hal yang sama! Oh, apa jangan-jangan kamu sekarang lagi romantis-romantisan sama orang lain?"

Mia menjawabnya lagi, kemudian giliran Farel, "kamu gak percaya sama aku, oke? Lalu, kalo gak ada orang lain, kenapa kepikiran begini?"

Farel mengedarkan pandangnya ke sekitar, keadaan sudah mulai ramai. Dia pun berjalan mencari tempat yang sekiranya tidak terjamah siswa ataupun guru yang melintas. Agak jauh memang, dia pun berbicara lagi setelah sampai di area yang dituju, "kamu muter-muter doang kerjaannya. Jawab, kenapa? Apa emang pengen putus? Ya udahlah, putus ya putus aja, aku gak ada waktu buat debatin hal yang awalnya kita bicarakan baik-baik, Mia! Aku pengen mikirin masa depan aku sekarang, oke?"

Emosi Farel mulai memuncak tak terkontrol, namun dia berusaha untuk tetap tidak mengeraskan suaranya agar tidak ada yang menoleh ke arahnya, kata-kata yang tak seharusnya dia lontarkan pun akhirnya meluncur, "gue gak nyesel! Mati aja lo, sumpah! Pusing gue!" Kemudian, Farel langsung menutup panggilan telepon itu.

Terdapat pensil dan bolpoin di saku seragam putihnya, Farel mengambil bolpoinnya dan melemparnya dengan kasar. Bolpoin tersebut membentur tiang koridor dan pecah.

...

Farel pun selesai bercerita.

"Oke, gue tau penyesalan lo di mana," kata Danu, dia masih asyik mencicipi ayam geprek buatan Rudi, sedikit demi sedikit.

"Keras banget," komentar Devan.

Danu bertanya kepada Farel, "terakhir dia bilang apa?"

"Dia? Oh, si Mia pas di telepon?"

"Iya."

Farel memberitahunya, "'gue harap lo gak nyesel sama kata-kata lo,' kurang lebih begitu. Bego, kan, gue?"

"Udah, Rel, udah terjadi, mau diapain," ujar Danu. "Namanya juga orang lagi emosi, walaupun kayaknya gue gak bisa sampai segitunya," lanjutnya.

Kemudian, saat Farel tengah dihantui kembali oleh bayangan Mia, dia mendapat pesan dari ibunya di WhatsApp.

'Kayaknya kamu gak bisa lanjut kuliah, gapapa kan?'

Pensil PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang