[ 三 ]

123 59 90
                                    

Tiba-tiba air membasahi rambutku, tas ranselku juga basah karenanya.

"Maafkan aku! Aku sengaja kok," ujar gadis dengan rambut pendek biru safir, Sora. Semua yang mendengar itu tertawa geli, mengejek.

"Sora, seharusnya kamu memakai botol mineral satu liter. Agar aura hantunya sedikit menghilang." Gadis berambut panjang merah muda, Vany. Menambah guyuran air padaku, "Seperti ini."

"Satu liter? Berat hei. Tanganku bisa sakit," ujar Sora terkekeh geli.

Tangan Vany menyentuh bahuku, "Jika saja kamu tak terlalu tertutup dan mengisolasi dirimu dari kami. Dan! Tidak sok menjadi pahlawan untuk sampah sebelum dirimu, kamu mungkin tak akan diperlakukan seperti sampah begini," ujarnya lalu berlalu setelah menepuk bahuku.

"Toh. Sampah sebelummu telah pergi. Itu yang membuatmu menjadi sasaran empuk setelah dia hehe." Sora menimpali dengan melempar senyum menghina.

Aku harus melewati jam pelajaran pertama dengan baju olahraga, rambut basah, dan buku basah. Tas yang hari ini kupakai, tidak berbahan anti air. Apa aku harus memakai tas yang bahkan belum kering, karena kucuci setelah mereka menyerangku dengan permen karet dan pasir? Sungguh, rasa malu dan dingin menusuk tulangku. Namun, lagi-lagi yang bisa kulakukan hanya menunduk dalam dan menahan sengatan panas di mataku.

•••OOO•••

Fokusku pun pecah, hingga akhirnya menjatuhkan gelas yang kupegang.

Darah mengalir dari kaki kananku.

Perih. Sakit.

Tapi itu tak seberapa dengan apa yang telah kulalui. Dadaku sesak.

"Bibi Hasna... Aku merindukanmu," ujarku menangis pilu.

Tangisku berubah menjadi tawa getir, dengan air mata bak sungai yang terus mengalir, "Apa diriku berharga?"

Hujan turun disertai petir yang menyambar keras. Aku selalu membenci hujan. Terlalu banyak kejadian buruk terjadi saat hujan turun. Saat kecelakaan maupun pemakamkan bibi, juga dihiasi hujan deras. Suara petir juga menyambar hari itu.

Suara pintu apartemen terbuka, membuatku menoleh.

"Aiii!!! Astaga! Sudah kuduga!" Nana berlari ke arahku dengan membawa paper bag, berisi makanan.

"Kamu memecahkan gelas lagi!" ujarnya membersihkan pecahan gelas, "Dan kamu terluka... Lagi," tambahnya menekan kata lagi, menatapku sebal.

"Apa jadinya jika aku tidak ada seperti Bibi Hasna?" ujarnya sambil mengomel.

Mendengar itu, aku semakin menangis. Nana terkejut melihatku.

"Ah! Maafkan mulut ini, Aiii. Hueee!" Nana malah ikut-ikutan menangis memelukku.

Kami duduk bersama di sofa. Menikmati mie instan panas.

Hening.

Sejak kami berhenti menangis, entah kenapa tak ada pembicaraan di antara kami. Seolah-olah udara canggung mencekik suara kami.

Hingga kami akhirnya hanya diam bermain video game bersama, dan tertidur setelahnya.

•••OOO•••

"Kamu membuat gadis manis itu menangis, Ai," ujar seorang laki-laki lalu tertawa.

"Astaga," Laki-laki itu menghapus air matanya, karena lelah tertawa, "Hey, Ai. Kuharap kamu bisa tersenyum manis seperti dia." Laki-laki itu menepuk kepalaku ringan.

"Kamu belum memperkenalkan diri," ujarku lagi-lagi menghiraukan ucapan laki-laki itu, mencoba menyingkirkan tangannya.

Namun aneh, aku tak bisa menyentuhnya.

"A-apa...?" Aku mencoba menyentuh tangannya kembali. Tapi hasilnya sama saja. Tembus, layaknya memegang angin. Sesuatu di antara nyata dan tak nyata.

"Hm? Bukankah kamu seharusnya tahu? Tentu saja kamu tak bisa menyentuhku sekarang. Di sini," jelasnya seraya mengedarkan pandangan ke sekitar.

Ruang hampa, bernuansa putih. Dan hanya ada bangku yang kami duduk bersama.

Laki-laki itu tersenyum, dan mendorongku dari bangku, "Bye bye~"

Aku seperti terjatuh dari ketinggian. Udara terasa mencekik leherku, tak ada oksigen. Kepalaku rasanya terbelah dan pandanganku mulai kabur.

•••OOO•••

"Oey! Kamu sedang memikirkan apa?" ujar Nana melambaikan tangannya di depan mataku.

Aku tersadar dari lamunanku. Mimpi itu terasa nyata. Pagi tadi, aku terbangun dengan nafas terengah-engah dan sakit yang teramat sangat di kepala, bersandar pada Nana.

"Tidak ada." Aku segera memakan kembali kebab yang kupegang.

Nana memandang penuh curiga, namun tak berusaha bertanya.

Kami berjalan beriringan. Udara terasa sangat dingin saat ini. Jalanan terlihat sepi. Nana bercerita tentang pertemuan pertama kami, dan membandingkan diriku yang dulu dan sekarang.

"Kamu semakin suram semenjak Bibi Hasna meninggal," ujarnya memandangku sendu, "Hey, Ai."

Aku menoleh.

"Kamu masih punya aku. Kamu tidak sendiri. Ayo semangat!" ujarnya menangkap kedua pipiku.

Aku hanya diam membisu, tanpa berniat untuk menanggapi gadis itu.

"Kamu hampir tak pernah tersenyum sekarang." Nana melepas kedua pipiku. Raut wajahnya terlihat sangat sendu.

Pandanganku kini jatuh pada jalan di sebrang.

Membuatku terpaku.

Laki-laki itu itu berdiri di sana. Cahaya jingga sore hari terlihat menyinari separuh tubuhnya. Dia tersenyum manis padaku. Melambaikan tangannya.

"Hey, Nana. Aku melihatnya lagi," ujarku memandang Nana.

"Melihat apa?"

"Laki-laki itu. Yang selalu hadir di mimpiku," balasku tersenyum senang.

Nana terkejut melihatku, "Di mana?" Balasnya tersenyum pahit. Tangannya meraih tanganku, dan menggenggamnya erat.

Tangan kananku menunjuk jalan di depan kami. Tempat laki-laki itu tengah berdiri.

Namun mata Nana malah basah, menahan tangis. "Ai... Ayo pulang," ujarnya memelukku erat.

- To be continued -
Tuesday, 6 July 2021

My ArchangelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang