Namun mata Nana malah basah, menahan tangis. "Ai... Ayo pulang," ujarnya memelukku erat.
•••OOO•••
Dua hari setelahnya, Nana malah membujukku untuk pergi ke psikiater. Aku marah. Dia menganggapku gila.
Sudah berkali-kali aku menyakinkan gadis itu, bahwa apa yang kulihat sore itu nyata. Laki-laki itu benar-benar ada di sana. Menyapaku dengan senyum khasnya, dan menjelaskan seberapa nyata iris kuning itu menyala di antara bias cahaya mentari yang mulai tenggelam.
"Bukan! Aku bukannya beranggapan bahwa kamu gila!" ujar Nana mengacak-acak rambutnya, frustasi.
"Lalu?" Aku masih menatapnya tajam.
"Aku pikir, akan lebih baik jika kamu bertemu psikiater."
"Kenapa? Apa alasannya?"
Nana memegang kedua bahuku, "Karena kamu butuh!"
Aku menyingkirkan tangannya. Menatap manik senja itu dalam-dalam, lalu menghela nafas lelah. Gadis ini tidak main-main. Dia serius. Dan ini mulai menyebalkan.
Saat suasana di sekitar kami benar-benar akan meledak, smartphone milik Nana berdering nyaring. Memecah suasana panas di antara kami.
"Ya?" jawab Nana setelah mengangkat telfon.
"Baik, Ma." Nana menghela nafas panjang, lalu berbalik menusukku dengan tatapan tajamnya.
Dia menunjuk ke arahku, "Aku harus ke rumah inti. Kita lanjutkan ini nanti." Lalu menghilang dari balik pintu kamarku.
"Apa aku salah jika kamu itu nyata bagiku? Kenapa Nana tidak mempercayaiku? Aku yakin, kamu nyata!" Jatuh terduduk, aku hanya bisa menangis lagi. Meringkuk sendirian.
Lagi-lagi hujan datang disaat suasana hatiku sedang buruk. Petir menyambar sangat terang cahayanya. Jendela balkon masih terbuka, sehingga air hujan masuk dari sana.
Aku bangkit, hendak menutup jendela dan tirai itu. Langkahku terhenti, saat melihat seseorang berdiri di bawah bawah guyuran hujan. Dengan jaket hitam menutupi wajahnya.
Jarak yang jauh membuatku tak bisa dengan jelas melihat sosok itu, ditambah derasnya hujan membuatnya semakin tak jelas.
Tapi dengan keyakinan dalam hati kecil, membuatku keluar dari apartemen menuju lift dan turun ke lantai paling bawah. Ingin memastikan sendiri siapa yang berdiri di bawah hujan lebat seperti ini.
Terengah-engah, aku akhirnya sampai di lantai bawah. Aku keluar dari pintu masuk utama gedung apartemen. Mendorong pintu kaca itu tergesa-gesa.
Tubuhku terguyur air hujan. Tanpa alas kaki, aku melangkah mendekat ke arah sosok itu. Kurasakan perban yang membalut luka di kaki kanan, basah dan hampir lepas. Darah juga mengalir dari sana, sepertinya lukaku terbuka lagi. Apa karena aku berlari tanpa alas kaki? Walaupun terasa sangat perih, aku tidak memperdulikan itu. Karena rasa penasaranku mengalahkan rasa sakitku.
Sosok itu membuka hodie jaketnya. Yang pertama kali kulihat adalah iris kuning itu.
Ya. Itu memang dia.
"Ai~" panggilnya di antara berisiknya suara hujan. Samar-samar, terlihat sebuah senyum terukir di wajahnya.
Perlahan tapi pasti, aku melangkah mendekati laki-laki yang berdiri lima meter dariku.
"Aiii! Kamu sedang apa hujan-hujanan begini?! Beruntung, aku belum pergi!" Secara tiba-tiba, Nana menarik lenganku dengan paksa. Melindungiku dari guyuran air hujan dengan payung yang ia bawa.
"Ta-tapi! Dia!" ujarku berusaha menjelaskan.
"Dia? Siapa?" Nana mulai menarik kumasuk ke dalam gedung apartemen, "Lihat! Kakimu berdarah lagi! Kenapa kamu keluar tanpa alas kaki, Ai?!"
"Tunggu, Nana! Laki-laki itu! Dia ada di sana!" teriakku frustasi.
Namun kemudian kepalaku terasa amat sangat sakit. Pandanganku memudar secara perlahan. Hal terakhir yang kuingat adalah, dinginnya air hujan yang membasahi wajahku dan teriakan histeris Nana memanggilku.
•••OOO•••
"Demam tingginya mulai turun. Jangan biarkan dia sendiri. Temani dia sepanjang waktu. Hanya itu yang bisa dilakukan saat ini. Jika dia siap bertemu dengan psikiater, baru kita bisa menanganinya lebih lanjut."
"Baik. Saya mengerti. Terima kasih banyak." Terdengar suara Nana dari samping.
Aku membuka mataku, walaupun terasa berat. Ini di kamarku. Sepertinya hujan telah reda. Pukul berapa sekarang? Berapa lama aku tak sadarkan diri?
Saat aku sibuk dengan berbagai pikiran, seseorang menggenggam erat tanganku.
Aku menoleh ke samping ranjang, "Nana..." Ternyata gadis itu yang menggenggamnya. Gadis itu terlihat terisak.
"Hey, Ai. Aku membencimu," ujarnya semakin terisak.
•
•
•
- To be continued -
Thursday, 8 July 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
My Archangel
Teen Fiction❗WARNING KONTEN SENSITIF❗ Depresi... Adalah gangguan suasana hati (mood) yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan rasa tidak peduli. Hey, ingin kubawa kalian ke sebuah kisah? Tentang gadis yang tak punya sinar di matanya. Seperti mayat...