[ 五 ]

86 36 86
                                    

"Hey, Ai. Aku membencimu," ujarnya semakin terisak.

Aku hanya diam tak bergeming.

Nana mengangkat wajahnya, sehingga netra kami saling bertemu.

"Kamu tahu seberapa paniknya aku saat kamu pingsan kemarin?" Nana menghapus kasar air matanya, "Jika kamu masih beranggapan laki-laki itu nyata, berarti kamu memang gila!" ucapan terakhirnya terdengar nyaring.

Ucapan gadis itu terasa sangat menyakitkan. Sahabatku meragukanku. Itu menyedihkan.

"Dia tidak nyata! Tak ada siapapun di ruang lab, ruang kelas, atau lorong! Bahkan dia tak pernah ada di sekolah! Tak ada siapapun di sebrang jalan sore itu! Tak siapapun di depan gedung apartemen kemarin!" ujarnya berteriak histeris.

"Tak ada! Tak ada siapapun! Laki-laki dengan iris kuning itu tak pernah ada di sekitarmu!" Nana menatapku sendu, "Itu hanya imajinasimu." Terdengar kepiluan di akhir ucapannya. Air mata gadis itu masih mengalir.

Aku masih diam. Kata-kata gadis itu menyayat hatiku. Dadaku sesak mendengarnya.

Tapi... Sekolah? Aku tak melihatnya di sana.

"Aku harap kamu bersedia bertemu dengan psikiater besok." Nana kembali menghapus jejak air matanya. Lalu bangkit, "Aku mau membeli sesuatu untuk dimakan."

Gadis itu berlalu. Meninggalkanku yang kini mulai terisak.

"Segila itu?...Kah?" bisikku memukul dada. Sesak. Ini menyakitkan.

Aku bangkit dari kasur, berjalan menuju balkon. Namun kakiku tak kuat menopang tubuh ini, sehingga jatuh terduduk di lantai yang dingin. Diikuti putusnya secara tiba-tiba gelang couple-ku dengan Nana. Benda itu kini tergeletak tepat berada di sampingku.

Air mataku masih tak kunjung berhenti mengalir. Namun suara Isak tangisku telah menghilang.

Suara kepakan sayap menyapa indra pendengaranku, diiringi bulu sayap berwarna hitam legam berserakan tertiup angin malam.

"Yo!"

Laki-laki beriris kuning itu duduk di pembatas balkon. Dia terlihat serba hitam dengan sayapnya yang besar itu, membelakangi cahaya bulan.

"Kamu terlihat berantakan ya, Ai." Laki-laki itu tampak mengoreksi penampilanku, "Ah tidak. Memang Kapan Ai terlihat rapi?" lanjutnya terkekeh sendiri.

Kutatap iris kuning itu tajam, "Siapa kamu?"

"Astaga..." Laki-laki itu menghela nafas, "Kamu selalu memanggilku, Ani Gyo."

Mendengar jawabannya, ingatanku seperti terbuka.

Aku tahu dia. Aku mengenal dia.

Pertama kali pertemuan kami adalah saat pemakaman bibi Hasna. Dia datang dengan jaket hitamnya, mendekatiku.

"Salam kenal," ujarnya kala itu berbisik padaku, melempar senyum hangat.

Dia tak selalu muncul. Tapi aku sudah beberapa kali melihatnya, disaat aku tidak tertidur. Pantas saja Nana menganggapku gila.

Dia ada untukku. Selalu menungguku di ruangan hampa bernuansa putih itu, yang terkadang berubah menjadi hamparan penuh bintang. Jika aku ingin, dia bisa merubah tempat itu kapanpun seperti yang aku mau, itu yang sering dia katakan padaku. Yang sukses membuatku terkekeh melihat wajah sombongnya saat mengatakan itu.

Mendengarkan keluh kesahku. Menenangkanku saat aku menangis. Dan bertukar cerita tentang banyak hal. Mungkin kata akrab, bahkan tidak cukup menggambarkan bagaimana aku sangat bergantung padanya. Karena tidak semua hal bisa kuceritakan pada sahabatku, Nana. Aku tidak mau membuat gadis itu lebih sedih daripada sekarang. Dia telah terlalu banyak membantuku. Itulah alasanku sangat bergantung pada laki-laki dengan iris kuning menyala itu.

Dan panggilan Ani Gyo, adalah panggilan yang kusematkan padanya.

"Ai baru memberi tahu sosokku beberapa waktu yang lalu kan?" tanyanya bertopang dagu.

Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaannya.

Gadis itu, Nana. Sudah curiga selama ini. Namun baru berani menanyakannya sekarang.

Tunggu...

"Tapi, kenapa aku lupa? Tentangmu?"

"Karena Ai terlalu larut dalam kesedihan," jawabnya cepat, "Itu membuat Ai tak bisa mengingat beberapa hal. Maksudku, ingatan Ai seolah terpecah-pecah."

Laki-laki itu terlihat berpikir, "Entahlah. Aku sendiri juga bingung." Dia mengedikkan bahu singkat.

Pandanganku jatuh ke lantai. Air mataku menetes lagi.

"Apa kesalahanku?" Aku mulai terisak.

"Orang tuaku sendiri bahkan tak pernah benar-benar peduli denganku. Bibi Hasna pergi meninggalkanku. Bahkan semua orang di sekolah membenciku."

"Sekarang... Hiks... Sa-sahabatku juga membenciku," ujarku semakin terisak.

Kali ini dengan alasan apa aku tetap melanjutkan semua ini? Tetap melanjutkan skenario yang tuhan tulis? Semua orang bahkan tidak menghendaki keberadaanku, tidak ada yang benar-benar menginginkan nafasku yang masih berhembus dan jantungku yang masih berdetak. Lalu kenapa aku masih hidup? Skenario macam apa lagi yang tuhan inginkan dari hidupku?

"Hei, Ai." Suara langkah kakinya mendekatiku. Lalu berhenti di depanku.

Aku mendongak.

Dia menghapus air mataku. Tersenyum hangat, "Bagaimana jika Ai ikut Ani Gyo saja?"

- To be continued -
Sunday, 11 July 2021

My ArchangelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang