Pernikahan yang tak Pernah Dibicarakan Orang

1K 84 2
                                    


Jika rumah tangga berjalan indah terus menerus maka pondasi rumah itu tidak akan kuat. Sekali ada angin kencang, maka bangunan itu akan roboh. Ujian dalam rumah tangga ibarat penguat untuk membuktikan apakah satu sama lain bisa terus bertahan hingga mencapai kebahagiaan sesungguhnya.

Siapa yang tahu dia mencintaimu jika cinta itu tidak di uji, mungkin itu kalimat tepat yang bisa diterima. Seperti rumah tangga Fatrial. Orang lain mungkin simpati bahkan berkomentar miring karena mereka belum mendapat keturunan, tapi justru di sini Fatrial bisa sadar betul bahwa ia mencintai Veve tanpa alasan, tanpa syarat dan tanpa sebab.

Ia tak akan melukai Veve untuk yang kedua kalinya dengan alasan apa pun. Karena keturunan itu dalam kehendak Allah. Manusia tidak bisa menentukan apa-apa, hanya bisa berdoa dengan ikhtiar semampunya. Lantas kenapa banyak manusia di luar sana yang terus berkomentar?

Di meja ruang tengah itu, Veve hanya diam sambil sesekali tersenyum. Di rumah orang tua Fatrial sedang mengadakan tasyakuran tujuh bulanan anak Nadia yang kedua. Beberapa keluarga besar juga datang, seperti tante dan paman Fatrial.

"Aku dulu tiga bulan menikah sudah isi lho. Masak kamu sudah dua tahun tak ada upaya apa-apa." Gumam Tante Winda, adik ayah Fatrial.

Veve tersenyum perih sambil membantu dua asisten rumahtangga yang sedang menyiapkan makanan. Veve mencoba untuk tidak ambil pusing, ia berusaha menahan gejolak emosi meskipun dengan wajah pura-pura tersenyum.

"Harus usaha, jangan pasrah saja! Karena aku yakin Fatrial pasti menginginkannya." Tambahnya yang kini terdengar oleh telinga ibunya Fatrial.

"Insya Allah, Veve dan Fatrial sudah berusaha. Anak itu hak Allah, jadi manusia tidak bisa menuntut."

"Kalau usahanya cuman berhubungan saja ya gak cukup!" Tante Winda tak mau kalah.
Ibunya Fatrial pun memegang pundak adik iparnya tersebut, dan di saat yang sama Veve pura-pura izin ke toilet. Jujur Veve tidak ingin menumpahkan air mata di sana, ia tak berhati batu yang tahan gunjingan di depan matanya.

"Ini semua bisa jadi karena kesalahan Fatrial memilih istri. Bagaimana mungkin keluarga terpandang seperti kita mengizinkan dia menikah dengan asal wanita di luar sana." Kali ini tante Winda seolah menyalahkan Fatrial dan keluarga.

Ibu Fatrial menarik napas, menahan kesal atas tuduhan itu, namun ia memilih diam tak berkomentar.

"Kalau aku jadi sampean, gak akan
ku izinkan Fatrial menikahi Veve. Selain dia hanya seorang guru, lihatlah sampai saat ini ia tak mampu memberimu cucu, seperti tak ada upaya apa-apa."

Sekali lagi ibunya Fatrial hanya bisa menghela napas berat. Haruskah menyalahkan takdir yang sudah Allah tentukan? Dan tanpa mereka sadari Veve mendengar semua dari balik dinding. Ia menumpahkan air mata di sana, tak mampu lagi menahan perih yang semakin membiusnya.

Ia tak mungkin menceritakan luka ini pada suaminya, tapi ia juga tidak mungkin kuat memendam seorang diri.

"Veve." Suara Nadia menepuk pundak Veve. Seketika Veve mengusap air matanya dan mencoba tersenyum meskipun sangat berat.

@@@

Nadia mengajak Veve di taman belakang rumah, duduk sambil ngobrol di sana. Dari semua keluarga Fatrial, Nadia lah yang paling mengerti posisi dan hati adik iparnya.

"Mbak minta maaf ya, jika ada kata-kata dari tante Winda yang tidak berkenan di hati, bahkan mungkin menyakitimu."

"Iya, Mbak. Tidak apa, saya bisa mengerti."

Nadia menarik napas, sambil sesekali mengelus perutnya yang buncit.

"Setiap rumah tangga ada ujiannya, Ve. Kamu mungkin melihat aku nampak bahagia, tapi kamu tidak tau bahwa mertuaku adalah orang yang sangat antusias mencari-cari kesalahanku, dan itulah alasanku tinggal di sini. Sedangkan suamiku masih terus membujukku untuk tinggal dengan orangtuanya. Jujur posisiku sangat sulit, Ve." Cerita Nadia membuat Veve simpati.

"Suamiku termasuk anak yang penurut dengan ibunya, jika bukan karena cinta dan ia tahu bagaimana karakter ibunya, mungkin kami sudah bercerai karena begitu banyaknya kesalahan uang diumbar oleh ibu mertuaku." Kali ini mata Nadia berkaca-kaca, sebagai bukti bagaimana kondisi hatinya sangat rapuh.

"Maafkan saya, Mbak." Veve merasa malu dan bersalah karena telah menangis di hadapan Nadia. Kini ia tahu bahwa ia tak sedang mengalami ujian sendirian.

"Kamu harus kuat, sabar dan terus berdoa. Mungkin ini ujian rumah tanggamu dengan Fatrial. Komunikasikan apa pun itu dengan Fatrial, karena dia suamimu. Apalagi terkait keturunan, Mbak yakin dengan berjuang bersama maka ujian ini akan terasa ringan."

Veve mengangguk patuh, "Iya, Mbk."

"Fatrial mencintaimu, jadi kamu tidak akan sendirian."

"Iya, Mbk. Terima kasih banyak." Veve merasa lega, sesaat beban itu terangkat.

"Mari jadi wanita kuat, agar tak setiap kondisi kita hadapi dengan air mata."

Pesan yang sangat mengenai di hati. Selama ini Veve memang dikenal sebagai wanita pendiam dan taat. Bahkan ia telah banyak mengalah, hingga tak jarang segala masalah ia simpan sendiri. Sekarang ia tak ingin selemah itu lagi, ia harus belajar kuat dan membela diri.

Happy Reading..
Hari ini posting 2 bab, karena kemaren telat posting 🙏
Jangan lupa vote dan komentar kritik saran dsb 😁

Dangerous Wedding 2 (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang