Sebersit Luka

689 63 13
                                    

"Veve!"

Suara seseorang berteriak di luar sana, sontak Veve yang sedang mencuci piring pagi itu bergegas menuju pintu depan. Ia kaget melihat Ibu mertuanya sudah berdiri dengan wajah khawatir.

"Ibu."

"Nadia bilang Fatrial habis ditampar orang di rumah sakit? Sebenarnya ada apa?" Wanita paruh baya lebih itu langsung masuk rumah sebelum Veve izinkan. Pikirannya kalut seolah Fatrial mendapat masalah besar.

"Duduklah, Bu. Saya akan ambilkan minuman."

"Bagaimana ceritanya Fatrial bisa tampar? Kenapa kau tidak ceritakan hal ini padaku?" Pertanyaan beruntung dengan nada tinggi itu sedikit mengejutkan.

"Ini hanya kesalahpahaman, Bu. Jadi insya Allah bukan masalah besar." jawab Veve sedikit takut.

"Bukan masalah besar bagaimana? Kamu tidak tahu bagaimana profesi dokter itu bahkan bisa menyeretnya ke penjara. Kamu jangan anggap enteng setiap masalah di rumah sakit, ini tentang nyawa orang, bukan barang yang bisa kita ganti kerugiannya. Ibu harap kamu bisa lebih memahami posisi dan pekerjaan Fatrial, bukan sibuk bekerja sendiri menjadi guru."

Seketika Veve terdiam, entah kenapa kalimat itu membuat dadanya ngilu. Dia memang bukan tenaga kesehatan pun tak bekerja di rumah sakit, maka ia tak tahu apa-apa, tapi apakah pekerjaan sebagai guru harus dikambinghitamkan?

"Maafkan saya, Bu."

"Ibu bilang begini bukan berarti marah, tapi hanya ingin kamu sedikit mau belajar. Kamu itu istri seorang dokter, jadi posisikan dirimu juga. Atau kalau perlu berhentilah dari pekerjaanmu di SLB itu, karena nafkah dari Fatrial lebih dari cukup. Tidak perlu kerja di luar sana, fokus saja mengurus suami, agar kamu pun bisa segera hamil."

Kali ini seperti ada reruntuhan granit yang menghimpit dadanya, bahkan matanya mulai basah, namun Veve berusaha untuk bertahan agar jangan sampai air mata itu keluar.

"Ibu tidak mau Fatrial mendapat masalah, apalagi sampai dituntut di pengadilan hanya karena kesalahpahaman."

Veve menarik napas, mencoba kembali bernapas normal, namun hanya anggukan kepala yang mampu ia lakukan. Terlalu berat untuk bersuara.

"Jangan membuat Fatrial malu, dia sudah cukup sulit hidup denganmu. Cobalah untuk berkorban demi kebahagiannya. Belajarlah untuk mengerti dia, meskipun Fatrial tak pernah mengungkapkan keinginannya, tapi kamu harus tahu apa yang bisa diberikan istri untuk suaminya."

Ya Allah. Tumpah sudah tak bisa tertahan lagi, secepat mungkin Veve mengusap air matanya. Kenapa ia merasa disudutkan dalam hal ini. Kini ia hanya bisa tertunduk, tak berani mengangkat wajah di hadapan Ibu mertuanya.

"Itu saja, sampaikan salam Ibu padanya. Kalau ada waktu berkunjunglah ke rumah." Itu kalimat terakhir yang Ibu mertua katakan setelah akhirnya ia melangkah pergi tanpa salam.

Setelah wanita itu pergi Veve menangis terisak. Untuk pertama kalinya ia terluka dengan kalimat Ibu mertuanya.

Mungkin ia hanya bermaksud menasehati, Veve tahu beliau orang yang baik, tapi entah kenapa cara beliau menasehati kali ini membuat sakit hati. Benar jika selama ini Veve belum bisa memposisikan dirinya, tapi apakah berhenti dari SLB adalah satu-satunya pilihan agar segera hamil?

Setetes air mata meluncur kembali. Selama ini Fatrial memang tak pernah mengungkapkan keinginannya, ia selalu menerima apa pun keadaan dan kondisi Veve, tak pula mengungkit-ungkit kenapa belum hamil apalagi menyalahkan Veve. Dia lelaki baik, sangat baik namun terkadang kebaikan itu justru dipandang lain oleh pihak keluarganya.

@@@

"Dokter Fatrial!"

Seorang pemuda setengah berlari menghampiri Fatrial yang baru saja keluar dari mobil. Pemuda itu adalah Rendy.

Dangerous Wedding 2 (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang