Mertua Toxic

683 73 4
                                    

Rumah sendiri berasa rumah mertua, bagi Veve dunia mendadak gelap. Ia bingung harus bersikap seperti apa. Serba salah dan tak ada sedikit pun kebenaran yang mampu ibunya tangkap dari setiap sikap Veve.

Ibu mertuanya tidak ingin pulang, katanya ia perlu untuk merawat anaknya dan memastikan Veve tidak membuat ulah. Ia ingin tinggal beberapa hari di sana, karena ia merasa Veve tak becus merawat suami. Sejujurnya Fatrial sudah merasa sehat, maka seharusnya tidak ada lagi yang perlu di khawatirkan, ibunya hanya sedang mencari alasan agar bisa tinggal lebih lama.

Veve sudah bangun sejak subuh dan mulai menyibukkan diri di dapur sebelum ibu mertua dan suaminya bangun. Ia merasa harus bisa mengambil kembali hati mertuanya meskipun itu sangat sulit.

"Nilaimu di mataku sudah jauh berkurang."

Kalimat  itu terus terngiang-ngiang di kepalanya, membuat tiap tarikan napas terasa begitu sesak. Apa yang harus ia lakukan untuk memperbaiki semua ini? Veve merasa telah melakukan yang terbaik, telah berusaha menjadi istri sholehah dan taat, tapi kenapa di mata ibu mertuanya ia tetap salah.

Jika sikap ibu kasar karena perbedaan tingkat antara dirinya dan Fatrial, tapi kenapa dulu mengizinkan menikah? Kenapa dulu begitu baik dan terbuka? Veve masih tidak bisa mempercayai perubahan sikap ibu mertuanya. Pun pagi ini, ia bahkan tidak menengok dapur sama sekali. Ia justru hanya duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, sedang Veve sibuk masak dan bersih-bersih rumah.

Ya Allah, ujian rumah tangga macam apa lagi ini?

Veve berusaha mencairkan suasana dengan mengirimkan secangkir susu hangat untuk mertuanya. Namun hingga gelas itu telah berdiri kokoh di atas meja, tak ada pandangan apalagi sapaan.

"Susu hangat buat ibu." Kata Veve sopan.

Tidak ada kata terima kasih, ibu hanya tak acuh seolah tak ada orang di hadapannya. Sikap dingin yang membuat hati Veve kembali panas.

"Saya sungguh meminta maaf atas kejadian tadi malam, Bu." Veve tertunduk, penyesalan itu jelas masih membumbung. Ia sangat berharap ibu memahami posisinya.

"Kenapa minta maaf, bukankah memang begitu keinginanmu."

Astaghfirullah, Veve berusaha sabar.

"Saya tahu salah, tapi saat itu saya di posisi sangat bingung dan sulit. Jujur saya tidak pernah punya keinginan macam-macam, Bu. Saya hanya berusaha bagaimana caranya agar sampai rumah karena sudah tidak ada angkot. Jadi saya sangat memohon maaf jika saya salah."

Kini satu pandangan tertuju pada Veve, pandangan tajam menusuk.

"Mendengar alasanmu kali ini, saya tahu bahwa kamu orang yang tidak ingin berubah. Karena orang yang siap berubah adalah orang yang tidak banyak beralasan, apalagi pembelaan. Jadi jangan mengharapkan pengertian dariku."

Veve meremas kedua tangannya erat, berusaha tidak tumbang apalagi menumpahkan airmata meskipun hatinya sangat terluka.

"Kenapa ibu membenciku?" Veve beranikan diri untuk bertanya.

Ibu menutup majalah dan mengalihkan pandangan pada Veve yang masih tertunduk.

"Kamu tahu kebahagiaan terbesar yang diberikan seorang istri pada suaminya? Yaitu keturunan. Jika kamu tak bisa memberikan itu pada Fatrial, apakah aku perlu alasan lain untuk membencimu."

Seluruh saraf dalam tubuh Veve seolah mati rasa, kakinya lemas dan nyaris saja oleng. Bagaimana bisa ibu mertuanya bicara seperti itu, di saat keturunan itu adalah hak Allah. Pada akhirnya airmata yang Veve tahan pun tumpah.

"Tapi saya masih berikhtiar, Bu. Saya tidak diam saja, saya mengusahakannya.  Jadi saya berharap ibu bisa bersabar, karena keturunan itu kehendak Allah. Manusia hanya bisa berusaha, Bu." Veve masih berusaha membela diri.

Dangerous Wedding 2 (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang