“Lebih baik kita beristirahat di sini saja dulu.” Tara lebih dulu memisahkan diri dan duduk agak jauh di pantai. Deru ombak yang menjilat-jilat membuat kepalanya sesaat mengingat seseorang lagi.
“Ya, kupikir itu ide bagus. Sebentar lagi gelap.” Luke menyetujui. Berbaring di tempatnya sendiri, membuat bajunya kotor—entah kenapa dia terlihat riang.
“Ok. Kita juga belum tau tujuan selanjutnya ke arah mana.”
Mereka duduk melingkar. Menatap langit senja yang kian temaram. Begitu menenangkan.
Dirga berdiri. Menepuk-nepuk celananya yang terkena pasir. “Gua mau cari kayu buat api unggun. Bentar lagi dingin. Siapa yang mau ikut?”
Aurora segera berdiri menyambut tawaran Dirga. Dirga mengangguk. Mereka mulai berjalan masuk ke dalam hutan, mencari kayu.
Kini hanya Luke dan Tara yang duduk bersisian di pinggir pantai. Mereka seperti menikmati semilir angin yang lembut.
Tara mengangkat sedikit kepalanya, menatap langit. Sesekali dia mengerjap saat sesuatu akan mengaliri matanya. Tara mengulum bibir. Ternyata ingatannya sama sekali tidak berkurang setelah tiba di Hysteria.
“Kau merindukannya?” Sebuah suara tiba-tiba menyapa telinga sensitif Tara. Dia menoleh, mendapati Luke yang tengah memangku tubuhnya dengan dua tangan ke belakang.
“Siapa?” jawab Tara enggan.
“Zephyr … mungkin?”
“Tidak. Aku tidak merindukan ‘siapa’, tapi ‘apa’.”
Luke terkekeh. “Menarik, heh.”
Hening sejenak. Senja sudah sepenuhnya tenggelam. Malam perlahan menyapa dan membuat gelap.
“Mereka berdua mencari kayu bakar ke mana, heh? Lama sekali.”
Tidak ada sahutan. Luke berbicara sendiri padahal dia berbicara pada Tara. Gadis berponi panjang di mata kanannya itu terpejam. Menyandarkan punggungnya pada pohon.
“Hei, Tara. Kau tidur? Aku sedang bicara padamu.”
Itu untuk pertama kalinya Luke memanggil nama Tara. Biasanya selalu saja bibi dan membuat Tara kesal. Namun, Tara sedang tidak ingin diganggu kali ini. Gadis berpakaian serba hitam itu masih menutup mata.
“Diamlah, jangan menggangguku. Cari hiburanmu sendiri.” Tara bersedekap. Matanya memejam kian rapat.
Luke menggedik tidak peduli. Jika Tara tidak ingin diganggu, maka bagi Luke itu berarti sebaliknya.
“Ini akan saaangat menyenangkan,” gumam Luke di tengah tempiasan ombak.
• • •
Aurora dan Dirga sudah banyak menemukan kayu kering yang siap mereka angkut. Mengikat dengan akar rambat pohon, keduanya bersiap kembali ke pantai sebelum mentari semakin tenggelam dan mereka tidak tau jalan keluar ke arah mana.
“Ayo, gua di depan, lo di belakang.”
“Ok.”
“Hitungan ketiga. Satu, dua, ti-“
Belum selesai Dirga menghitung, suara debaman keras terdengar dari arah selatan hutan. Warna merah dengan cepat terlihat dari tempat mereka berdiri. Api menjilat-jilat, membuat beberapa pohon roboh, tanah bergetar.
Dirga dan Aurora bertukar pandang. Segera berlari ke tempat terakhir kali mereka meninggalkan Tara dan Luke. Aurora berlari lebih dulu, diikuti Dirga yang kerepotan membawa sepanggul kayu bakar yang diikat.
YOU ARE READING
Hysteria : Escape From Another World
FantasiTerjadi benturan aliran ruang & waktu yang mengguncang dunia. Empat tokoh dari novel yang berbeda terjebak ke dalam satu dunia bernama Hysteria. Mampukah Dirga, Luke, Almatara, dan Aurora menyelesaikan tugas mereka di dalam Hysteria dan kembali ke c...