Mereka bersembunyi di ruangan lain di dalam menara. Bentuknya masih saja datar dan seperti memiliki banyak ruangan. Menara ini masih gelap dan penuh debu. Gelap bukan karena matahari sudah tenggelam, tetapi sedikitnya cahaya yang masuk karena terkena reruntuhan bangunan.
Pendar dari cahaya mata si kakek terkadang membantu. Namun, sekarang cahaya menghilang. Menyisakan gelap alami yang sudah membuat mata mereka terbiasa.
“Lu kenapa kabur, dah?” Dirga menyandarkan tubuhnya ke dinding. Matanya terpejam sembari menarik napas pelan, sisa lari tadi.
“Tau nih, Tante. Gue kira lo jago segalanya.” Aurora ikut bersuara. Rambut dan bajunya kotor oleh debu, sudah hampir tidak dikenali akibat kerusuhan tadi.
Luke yang biasanya ikut mengompori, kali ini diam. Dia menoleh sebentar pada Tara lalu menatap ke depan, mengabaikan sesuatu yang melintas di dalam benaknya.
Tara juga tidak menjawab perbuatan konyolnya tadi. Tidak ingin menjelaskan kenapa dia begitu saja melempar besi panjang itu. Sesuatu yang lebih dahsyat bergolak dalam pikirannya, memancing ingatan mengerikan yang berusaha ia kubur jauh di dalam inti bumi.
“Kita istirahat dulu. Kumpulkan energi.” Luke menyarankan.
Dirga dan Aurora setuju. Keduanya duduk lebih nyaman sambil berselonjor kaki. Dipikir-pikir, mereka sudah sampai sejauh ini adalah keajaiban. Tetap bisa hidup dengan sedikit terluka meski berkali-kali ada di posisi hidup dan mati. Sejauh ini juga … tidak terbayangkan kalau manusia biasa seperti merela—kecuali Luke—akan mampu melaksanakan ramalan konyol itu.
Tara mengeluarkan botol air saat Aurora berkata tenggorokannya serak. Itu air yang ia dapat dari kapal Folrina. Sengaja mencuri benda satu itu untuk berjaga-jaga.
Aurora dan Dirga minum bergantian. Luke menggeleng saat ditawari. Ekspresi wajahnya tiba-tiba tanpa riak.
Tara yang menerima kembali botol itu memasukkannya ke tas ajaib, menoleh pada Dirga lalu berkata, “Aku minta waktu sebentar.” Tanpa persetujuan yang lain, Tara pergi ke sisi lain bangunan. Menenangkan dirinya di sana.
“Si Tante mau ke mana? Dia kenapa, sih? Mukanya jadi jelek gitu.”
Dirga menggeleng, mengisyaratkan Aurora agar tidak membuntutinya. Luke juga diam, menyetujui tindakan Dirga. Aurora menurut, kembali meluruskan kakinya sambil memikirkan cara keluar dari sini.
• • •
Tara menaikkan satu kakinya, sedang satunya dibiarkan lurus di lantai. Tangan kanannya bertumpu pada lutut, pandangannya menerawang jauh. Kembali teringat saat dirinya merasakan sesuatu yang asing, tetapi terasa dekat.
Cahaya hijau itu.
Kristal hijau yang ternyata ada di pegangan pedang. Tara merasakan gelenyar aneh saat menatap pendarnya. Sesuatu seperti … kristal itu bicara padanya? Entahlah. Rasanya seperti dipanggil dan dirinya tertarik. Untuk waktu yang lama berada di sini, bertemu banyak hal aneh, hal menarik dalam matanya hanya di gudang senjata, seseorang, lalu kristal itu.
“Aku tidak bisa menggunakan pedang,” lirih Tara pelan. Mengakui apa yang membuatnya lari begitu saja saat pertempuran.
Dia pernah punya kenangan buruk tentang pedang hingga tidak ingin menggunakannya lagi. Dua puluh tahun hidupnya, Tara hanya pandai menggunakan pistol atau sejenisnya. Benda tajam satu itu hanya ahli digunakan kakak perempuannya, Anita.
YOU ARE READING
Hysteria : Escape From Another World
FantastikTerjadi benturan aliran ruang & waktu yang mengguncang dunia. Empat tokoh dari novel yang berbeda terjebak ke dalam satu dunia bernama Hysteria. Mampukah Dirga, Luke, Almatara, dan Aurora menyelesaikan tugas mereka di dalam Hysteria dan kembali ke c...