"Kalian tahu? Bibi Tara rupanya diam-diam menyukai Tuan Naga Biru, heh. Hmm ... siapa namanya? Oh ... Zipi." Luke berbaring di atas tanah seraya menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan.
Iris biru itu menatap lekat ke arah langit-langit yang senantiasa diterangi oleh bintang biru redup. Desiran angin sempat berlalu, meniup setiap jengkal rambut si pesulap dalam keheningan.
Tara yang sedari tadi menyibukkan diri membantu Dirga dan Aurora mencari pintu masuk ke dalam Ancient Pillar kuno serta dipenuhi sulur merambat, sekejap fokusnya teralihkan—menatap Luke garang. Bahkan dia menyadari satu hal ... bocah aneh itu sama sekali tidak berguna selama mereka terjebak di dunia antah-berantah yang dipenuhi tantangan dan penduduk serakah. Ya, kecuali peristiwa Bubu menyerang ataupun menyelamatkan Aurora dari serangan penunggu Hutan Lior. Sekarang dia pun salah menyebutkan nama seseorang yang seharusnya 'Zephyr' berganti menjadi 'Zipi'. Oh, ayolah.
"Diam atau mulutmu kutembak?"
Luke masih berada di posisi semula, bersantai memandangi langit-langit walau tanah yang dijadikannya alas masih dipenuhi kerikil batu—pecahan sedimen Ancient Pillar yang sarat akan misteri. Tak ketinggalan tanaman merambat yang lembap.
"Wew ... tenang-tenang, Bibi. Kau tahu? Wanita Tua jika sedang marah maka tubuhnya bisa meledak seperti balon. Dan ya ... kau berada di tahap usia tua, heh. Rawan meledak."
"Bocah Alien, boleh kukatakan sesuatu?" Tara menghentikan aktivitasnya mencari jalan masuk ke dalam pilar. Membiarkan sejenak Aurora dan Dirga kesusahan mengangkat batu. Rupanya mereka beranggapan bahwa dengan melakukannya, pintu rahasia bisa terbuka seperti puzzle tersembunyi.
"Silakan, Bibi."
"Sejujurnya dulu aku ingin membunuhmu diam-diam ketika tidur. Melihat wajahmu entah kenapa membuat tanganku gatal untuk menembak." Tara mengatakannya secara terang-terangan.
"Ya! Itu benar." Tidak ada angin ataupun hujan, Aurora yang entah datang dari mana juga turut menyahut ucapan Tara.
Sementara Dirga rupanya tidak lagi ambil pusing. Pria itu tampak pasrah atau bisa dikatakan stres berat ketika beberapa hari ini hidup bersama ketiga rekannya yang mentalnya perlu dipertanyakan.
"Hmm ... usaha bagus, Bibi. Kau akan menyesal telah melukai pria tampan nantinya, heh." Luke terkekeh santai seraya beranjak berdiri. Menepuk setelan rompi hitamnya dengan gaya yang sengaja dibuat keren.
Tara menatapnya merinding, bahkan kini Aurora juga turut meninggalkan Dirga sendirian karena terfokus pada ocehan Luke yang tidak berfaedah.
"Kenapa aku harus berpikir begitu?" Tara bersedekap dada, poni sampingnya tertiup angin singkat.
Luke menyeringai kecil seraya melangkah menuju dinding pilar yang dipenuhi sulur merambat. Dia menyenderkan sisi samping tubuhnya pada tepi tembok, menjadikan tangan kanan sebagai tumpuan. Sekali lagi Luke memasang pose sok keren, mengakibatkan gejala mual pada Aurora dan Tara.
"Jika bocah alien ini memakai wujud aslinya, kupastikan kau akan tergila-gila, Bibi. Ah, tapi jangan sampai ... ingat, heh? Usiamu cocoknya dengan Om Topeng Badut atau siapa namanya? Tuan Naga Biru? Oh! Zipi—"
"Zephyr." Tara membetulkan.
Luke menghela napas panjang. "Ya itu. Zipi—maksudku Zephyr, heh."
"Wujud asli lo, Aki-aki ya?" Aurora menimpali.
Luke menghela napas panjang, dia beranggapan isi kepala Aurora tidak bisa terlepas dari istilah 'aki-aki' untuknya. Apa mungkin tipenya itu seperti aki-aki?
"Jelas tidak, heh. Wujud asliku pria dewasa dengan wajah tampan serta setelan baju rapi dengan rambut pirang mengkilap." Luke menjelaskannya secara rinci.
YOU ARE READING
Hysteria : Escape From Another World
FantasiTerjadi benturan aliran ruang & waktu yang mengguncang dunia. Empat tokoh dari novel yang berbeda terjebak ke dalam satu dunia bernama Hysteria. Mampukah Dirga, Luke, Almatara, dan Aurora menyelesaikan tugas mereka di dalam Hysteria dan kembali ke c...