Bab 5 Runtuhnya Duniaku (Part 2)

9 0 0
                                    

Pelukan Bulek Farida makin erat kurasakan. Masih sambil menangis aku berteriak-teriak memanggil bapak.

"Bapak.. Bapaaakk.. Bapaakk...! Bapak kenapa Pak!!!", itu sajalah kalimat yang bisa kuucapkan dan terus menerus menangis.

Adikku dan nenekku pun terus menangis. Sedangkan aku masih terus histeris melihat bapak yang diam berselimut kain batik di lantai rumah utama Simbah Kakung. Bapak diam kaku tak bergerak. Orang-orang duduk berkumpul disekeliling bapak dan berdzikir. Aku tak terima dengan apa yang terjadi.

Ya, akhirnya aku paham bahwa bapak sudah dipanggil oleh Tuhan. Mataku tak sanggup melihat bapak lagi. Kualihkan pandanganku ke arah lain. Aku benar-benar tak ingin melihat bapak lagi. Aku hanya melihat bapak sekelibat dan tak fokus ke wajah bapak. Sungguh aku sangat tak suka dengan kematian. Bahkan aku tak melihat wajah bapak untuk terakhir kalinya.

Di saat nenek berusaha menarik aku dan adikku untuk mendekati bapak. Aku sungguh tak tahan dan meronta. Aku melepaskan diri dari tarikan nenek lalu lari ke dalam ruangan lainnya. Segera Bulek Farida menyambutku dengan pelukannya dan menenangkanku. Entahlah.. yang kurasakan hanyalah kepalaku sangat pusing karena aku tak hentinya menangis dan histeris.

Banyak orang yang datang dan selalu melihatku dan adikku. Mereka selalu mengatakan berbela sungkawa kepada kami berdua. Tetapi aku selalu menolak, aku seperti membuat tembok besar dan tinggi seolah kepergian bapak hari ini tak terjadi. Kepergian bapak yang tak ku inginkan dan tentunya aku sangat mengharapkan kehadiran ibuku.

Jauh.. sangat jauh aku dan adikku dari ibuku, tetapi harus kehilangan bapak tanpa ada ibu disamping kami berdua untuk saling menguatkan. Apalah kuasa seorang anak SD yang hanya bisa menangis dan menangis saja. Kupanggil-panggil beribu kalipun tak akan bisa datang ibuku saat ini. Ketika orang-orang membujukku agar aku mau mendekat melihat wajah bapak untuk terakhir kalinya, aku selalu menolak. Aku sangat muak.

Kuputuskan untuk pergi berlari ke rumah lama, tempatku tinggal dengan adik dan kedua orangtuaku sebelum semua ini terjadi. Kumasuki kamar bersama kami. Ya.. satu kamar kami yang sering kami gunakan tidur bersama ada aku, adikku, bapak dan ibu. Saat kubuka kamar, aku masih dengan tangisanku. Aku naik keranjang dan tidur diantara baju-baju bapak yang terlipat diatas ranjang. Kutumpahkan tangisku lagi lebih keras dan sambil mengingat-ingat kenangan bersama bapak sambil memeluk baju-bajunya.

Tak ada lagi bapak, sungguh tak akan bisa kembali lagi bapak ke dunia ini. Tak akan ada lagi bapak yang selalu membelaku jika aku di-bully oleh teman-teman sekolahku. Tak akan ada lagi bapak yang setiap pagi pergi mengajak ke sawah sebelum pergi sekolah. Tak akan ada lagi bercandaan kami sambil berantem ala Smack-Down. Tak akan ada lagi bapak yang selalu mengajak jajan tiap kali aku tak suka dengan masakan nenek. Takakan ada lagi bapak yang suka sekali mengajakku jalan-jalan berkunjung ke rumah teman-temannya. Tak akan ada lagi bapak yang akan menyuruhku menghitung uang koin hasil ia bekerja membajak sawah dengan traktornya.

Aku hanya bisa terus menangis dan meratap. Mengapa harus aku yang kehilangan bapak? Mengapa aku harus ditinggal ibu pergi kerja jauh? Mengapa harus aku? Apakah Tuhan tak mau mengembalikan bapak? Apakah Tuhan tak mau berbelas kasihan? Tak bisakah ibu datang dan memelukku saat ini? Tak bisakah Tuhan datangkan ibu? Mengapa harus aku? Mengapa harus aku yang mengalami ini?

Sesak dada dan pusing hebat kepalaku saat ini. Lama kelamaan pun aku tertidur diantara baju-baju bapak di atas ranjang. Saat aku terbangun, waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Aku bangun dan mengumpulkan seluruh tenagaku yang tersisa. Aku berjalan keluar kamar, ternyata di luar sudah ada kakekku yaitu ayah dari ibuku, saat melihatku beliau langsung datang memelukku dan menangis tanpa berkata apapun. Akupun kembali menangis dan memeluk kakekku.

Sungguh semuanya serasa singkat dan aku belum puas dengan masa kecilku dengan bapak. Ba[ak sudah tak ada dan nanti aku tak tahu harus bersikap bagaimana dan harus melakukan apa untukku bertumbuh dewasa.

Setelah adegan tangis-tangis dengan kakekku, aku melongok keluar pintu, melihat halaman rumah kami. Kulihat bapak-bapak polisi berjajar duduk di bawah pohon mangga. Salah satunya adalah bapak polisi yang kukenal. Beliau adalah ayah dari kakak kelasku SD di Bantul. Entahlah.. aku tak mengerti mengapa harus ada polisi di rumah kami saat kepergian bapak. Pikirku, "Oh mungkin karena kenal dengan bapakku makanya mereka datang melayat". Begitulah pikiran sederhanaku tentang kedatangan bapak-bapak polisi itu.

Tak lama setelah itu, aku dibawa oleh Mbokde Arwi, kakak perempuan dari ibuku. Mbokde, begitulah aku memanggilnya. Mbokde mengajakku duduk diantara para pelayat. Aku hanya terus menangis dan menyaksikan peti jenazah bapak menunggu diberangkatkan ke makam. Kulihat disana adikku sudah digendong entah oleh siapa. Diajak melakukan ritual melewati kolong peti jenazah. Aku hanya melihatnya, aku benar-benar tak ingin mendekat dan perlahan kulihat orang-orang mulai membawa peti jenazah bapak menuju makam.

Aku hanya bisa melihat dari jauh dan terus menangis. Hanya bisa memanggil-manggil bapak dalam tangisan. Sungguh membuatku lelah, badanku lunglai tak bertenaga. Aku terus dipeluk Mbokde Arwi dan kakak sepupuku Mbak Adha. Semua ini membuatku kepayahan dan entahlah, yang ku ingat adalah setelah itu aku terbangun kembali dari tidurku. Masih dengan kepala berat dan mata bengkak. Dan ini semua tetap bukan mimpi, bahwa bapak memang hari ini sudah pergi. Dan aku tak punya bapak lagi, juga tak ada ibu disampingku.

***

Oke cukup ini dulu ya.. capek banget hari ini nulis. Soalnya sambil nangis. Heheh

Terimakasih sudah membacanya



Di Antara LukakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang