Bab 6 Runtuhnya Duniaku (Part 3)

2 0 0
                                    

Suasana duka masih kental terasa. Iya.. tentu saja karena ini adalah sore hari dimana ayahku selesai dimakamkan. Para orangtua sibuk mempersiapkan acara pengajian untuk Bapak. Sedangkan aku.. aku seolah lupa dan menutup pikiran dan hatiku jika hari ini Bapak telah tiada.

Mataku pedih karena seharian menangis. Aku berusaha bermain dengan adikku dan juga sepupuku. Entahlah.. setiap orang yang berkunjung untuk berbelasungkawa sungkawa dan ingin bertemu denganku, aku pasti menolaknya. Aku tidak suka bertemu dengan mereka.

Jika aku menemui mereka para pelayat itu, berarti aku mengakui sepenuhnya jika Bapak sudah meninggal. Ku tolak itu jauh-jauh dan ku tutup hatiku rapat-rapat. Seolah-olah Bapak masih ada dan aku bersenang-senang bermain seperti biasanya.

Hari ini adalah tanggal 17 Agustus tahun 2000. Benar sekali, bertepatan dengan hari Peringatan Kemerdekaan Indonesia Bapak meninggal dunia. Hari sebenarnya aku sedang menikmati masa kecilku dengan berpentas ria memperingati Kemerdekaan Indonesia tersebut di kampungku.

Sudah jauh-jauh hari aku berlatih bersama dengan teman-teman sekampungku. Sebuah pentas kecil mengisi acara pembagian hadiah hasil lomba tujuh belasan. Aku dan teman-temanku menampilkan Gerak dan Lagu yang sudah sangat lama aku impikan. Menari didepan orang-orang walaupun hanya sebatas masyarakat satu kampung saja. Itu sangat membuatku antusias.

Ku putuskan akhirnya aku tak mau tinggal tenggelam dengan sedihku, bukankah aku sudah bilang jika aku menolak bahwa Bapak sebenarnya sudah meninggal. Jika aku terus berada di rumah Bapak dan ikut keluarga juga tetangga mengaji untuk Bapak itu berarti aku setuju jika Bapak sudah meninggal.

Teruslah aku merengek kepada kakek dan nenekku. Aku meminta pulang ke rumah Bantul agar aku bisa tetap mengikuti acara pentas 17an. Walaupun sudah diberikan pengertian dan alasan apapun, aku tetap ngotot dan meminta pulang. Dan akhirnya pun aku diperbolehkan.

Pemahamanku sebagai anak kecil adalah jika aku melupakan semua ini dan aku berkegiatan seperti biasa maka aku akan lupa dengan kesedihanku. Ternyata sungguh berat untuk melawannya. Ditambah lagi tatapan-tatapan orang dewasa terhadapku membuatku risih dan makin sedih.

Saat aku datang dan bersiap melakukan pentas, orang-orang berusaha melarang ku. Ya.. tentu saja karena masih dalam suasana duka. Selain itu apa nanti kata orang, seperti aku tak menghormati kepergian ayahku. Tetapi aku hanyalah anak kecil dengan pemikiran sederhanaku. Mengapa mereka begitu memusingkannya dan membuatku makin sedih.

Akhirnya pentas pun tiba waktunya. Dan aku bersama teman-temanku siap memberikan penampilan kami. Disaat itulah tetangga-tetanggaku terutama ibu-ibu mulai menangisi ku. Saat pentas wajah murung lah yang ku tampakkan. Tak ada senyuman sedikitpun dalam bibirku. Ketika pentas berakhir aku mendapat pelukan dan tangisan. Ah.. aku sungguh tak suka.

Niatku adalah tidak ingin menangis lagi, tetapi mereka kembali membuatku menangis. Benar-benar membuatku pilu dan merasa terpuruk. Hari dimana mengenang pahlawan Indonesia atas kemerdekaan yang telah diperjuangkan, tapi aku malah kehilangan ayah.

Yang lebih menyakitkan lagi adalah cerita dibalik Bapak meninggal yang sebenarnya. Sangat membuatku terpukul sekaligus malu dan minder. Kisah itu awalnya hanya terdengar selentingan kecil saja di telingaku. Aku tidak berpikir itu benar sama sekali karena saat pertama kali aku dikabari bukan itu yang diberitahu mereka kepadaku. Lama-lama kupingku terasa gatal dan aku penasaran sebenarnya apa yang terjadi dengan kematian Bapak. Apa sebab meninggalnya Bapak dan mengapa sampai berita meninggalnya Bapak masuk koran?

Pelan-pelan aku mencari tahunya. Ku kumpulkan informasi demi informasi agar aku bukan menjadi anak kopong yang tak tahu sebab asli penyebab meninggalnya Bapak. Pandangan mata orang-orang itu kepadaku selama ini sudah sangat memuakkan dan mengganggu sekali. Antara rasa kasihan atau mungkin melecehkan?

Tatapan yang membuatku menjadi seorang anak yang mudah minder dan tidak percaya diri. Sampai saat ini aku dewasa, semua itu masih sering menggangguku. Dan sampai detik ini aku selalu tak suka dengan peringatan kemerdekaan 17an karena bertepatan dengan kematian ayahku.

Dan aku pelan-pelan memulai mengumpulkan informasi tentang kematian Bapak.

***

Oke segini dulu ya guys, besok lanjut cerita sebenarnya soal kematian Bapak.

Di Antara LukakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang