Bab 4 - 2,5 Tahun

32.4K 3.6K 179
                                    

Pagi ini Mbak Tari seharusnya sudah tiba di Jakarta. Biasanya dari bandara ia akan langsung masuk kerja. Untuk itu aku harus memastikan semua pekerjaan kuselesaikan secepatnya.

Aku bersyukur mempunyai atasan seperti Mbak Tari. Usianya masih 38 tahun. Ia adalah sosok yang tegas dan teliti, tapi juga punya empati yang tinggi terhadap orang lain. Sehingga dalam pekerjaan, ia masih cukup fleksibel dalam mengambil keputusan jika ada kepentingan personal yang lebih penting.

"Bi, vendor yang kemaren sudah di-follow up?" tanya Arisha yang tiba-tiba muncul dari belakang.

"Ini gue lagi mau tanya."

"Oh ya..." sambung Arisha. Perasaanku tidak enak. Setiap kali Arisha berkata "ohya" dengan nada menggantung, kemungkinan besar ia akan menanyakan sesuatu yang personal demi memenuhi kebutuhan 'rohani'-nya sebagai seorang Ratu Kepo.

"Hm..." responku sekenanya.

"Si Dirga..." Tuh, kan! "...udah punya pacar belum sih?"

Aku pun menghela napas sambil pura-pura sibuk dengan layar komputerku, tidak sanggup melihat tatapan tajamnya yang penuh dengan rasa penasaran.

"Lo pernah dengar peribahasa 'curiousity killed the cat' kan?" ujarku.

"Umm, gue taunya peribahasa 'kucing pergi tikus menari'. Ada hubungannya kah?"

Hadehh.

"Curiousity killed the cat itu artinya kekepoan kita terhadap sesuatu bisa membahayakan diri kita sendiri. Nah, dalam hal ini lo tuh cat-nya."

Arisha memasang muka jutek. "Ya ngecek pasaran aja kan nggak apa-apa. Lo nggak pernah tertarik sama dia dari dulu?"

"Nggak."

Astagfirullah. Aku bisa merasakan Malaikat Atid sedang mencatat dosaku saat ini karena telah berbohong. Bagaimana mungkin aku tidak pernah tertarik pada Dirga, dulu saja kami pacaran!

FYI, walaupun belum menikah di usia 27 tahun, Arisha selalu gonta-ganti teman kencan. Prinsip hidupnya adalah 'tidak perlu punya prinsip hidup, yang penting 'hidup'. Pengertian 'hidup' di sini bukan secara harfiah bernapas dan tidak mati, tapi lebih dimaksudkan punya kehidupan yang menyenangkan dan fulfilling. Untung saja selama ini dia belum pernah dekat dengan psikopat atau penjahat kelamin. Mungkin karena kejelian dia dalam menilai orang dan mencari informasi, sehingga nggak gampang dibodoh-bodohi.

"Emang kapan sih terakhir kali lo pacaran? Sama Arif bukan?" tanyanya.

Aku memutar bola mataku. Arisha baru saja menyebutkan seseorang yang pernah jalan beberapa kali denganku beberapa bulan yang lalu. "Itu kan deket doang, Sha."

"Deket doang karena lo nggak mau nyoba!"

Aku mengambil napas panjang. Seandainya Arisha tahu aku memang tidak bisa semudah itu percaya dengan laki-laki.

"Kalau nggak entar gue jodohin Dirga sama sepupu gue yang masih jomlo. Menurut lo gimana..." ucap Arisha.

Aku menatapnya dengan muka kesal.

"Soalnya kayaknya itu anak terlalu baik kalau gue deketin..." tambahnya lagi tanpa rasa malu.

Agghhh!!

"Sha... Dirga itu mantan gue."

Ugh. Sungguh aku tidak tahan lagi untuk mengungkapkan yang sebenarnya daripada terus diburu Arisha soal Dirga.

Mata Arisha seketika membesar. Ia mungkin perlu waktu untuk mencerna pengakuanku barusan.

"Jangan bilang siapa-siapa!" tambahku dengan nada tegas.

NostalgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang