Bab 2 - Panik

34.4K 4.4K 42
                                    

Pukul 7.30, Jalan Sudirman sudah berpolusi meskipun masih pagi. Hari ini aku naik MRT—bukan taksi—karena aku berhasil bangun cepat. Dari stasiun MRT aku hanya perlu berjalan sedikit untuk sampai ke gedung kantorku.

Pintu lift yang kunaiki telah tiba di lantai 26. Setelah keluar, aku pun memasuki revolving door dan menempelkan ID card-ku seperti biasa untuk masuk ke dalam area kantor. Di depan langsung terlihat meja penerima tamu yang selalu dijaga satpam dan di atasnya terpampang logo perusahaan kami, Beufer Energy, yang menguasai seluruh lantai ini dan juga lantai 25, 24, hingga 23.

Beufer Energy adalah perusahaan penyedia listrik yang menggunakan tenaga panas bumi atau geotermal, dan sampai saat ini menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia dengan beberapa aset yang tersebar di berbagai daerah.

Indonesia sendiri mempunyai cadangan panas bumi terbesar di dunia, sekitar 40 persen atau 29,000 MW. Namun kapasitas yang digunakan masih di bawah 10 persen di antaranya, atau hanya sekitar 2,400 MW dari keseluruhan cadangan yang kita punya sehingga masih menempatkan Indonesia di bawah Amerika Serikat sebagai negara penghasil tenaga geotermal terbesar di dunia. Meskipun begitu, produksi geotermal di Indonesia juga terus berkembang selama beberapa tahun terakhir dengan adanya target dari pemerintah dan berbagai investasi yang masuk. 

Lantai 26 terlihat masih sepi. Sampai di kubikel, aku menaruh tas lalu duduk. Baru saja sedetik, telepon kerjaku berbunyi yang membuatku sedikit kaget. Tidak biasanya aku sudah mendapat telepon sepagi ini. Di layar tertera nama Ilham Masyri. Dari Pak Ilham ternyata. Tumben.

Ternyata Pak Ilham mengingatkanku untuk menyiapkan rapat pagi ini karena kebetulan admin kami sedang tidak masuk.

"Baik, Pak. Saya siapin ruangannya sekarang," ucapku ke Pak Ilham, lalu menutup telepon.

Aku pun bergegas ke ruang rapat sesuai yang tercantum di calendar. Begitu sampai di ruangan berukuran sedang ini, aku melihat dua orang laki-laki yang salah satunya terlihat dari belakang mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung berwarna abu-abu muda sedang duduk mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Hatiku langsung berdegup kencang. Aku sangat yakin laki-laki itu adalah Dirga.

Teman kerja Dirga yang satunya lagi melihatku yang berdiri kaku di depan pintu. Ia sepertinya bingung harus berkata apa kepadaku. Tiba-tiba Dirga memutar badannya, dan mata kami bertemu. Aku hampir salah tingkah.

"Selamat pagi. Ikut meeting juga?" Dengan gugup aku membuka suara.

Laki-laki selain Dirga pun menjawab, "meeting apa ya, Mbak?"

"Meeting mingguan Development..."

Laki-laki tersebut kelihatan bingung. "Oh, kami dari Macavel. Untuk beberapa minggu ke depan kami ditempatkan di ruangan ini," ucap laki-laki itu. Sedangkan Dirga diam saja.

Di atas meja panjang aku bisa melihat banyak kertas dan dokumen menumpuk, selain dua laptop Dell warna silver di depan mereka masing-masing. Tampaknya ruangan rapat ini memang dijadikan ruangan sementara mereka untuk bekerja hingga tugas mereka selesai di kantor ini.

"Ohh. Kalau gitu meeting kami pindah aja, Pak. Maaf ganggu."

Aku pun melipir. Dalam hati aku mengumpat kenapa sepagi ini aku sudah bertemu Dirga.

Aku pun mendatangi Mbak Desy yang juga merupakan Admin di departemen lain dan meminta bantuannya untuk memindahkan rapat ke ruangan lain.

"Oh, ruangannya dipake sama Macavel ya?" tanya Mbak Desy sambil mengenakan concealer di depan cermin kecil di atas mejanya. Mbak Desy memang hampir setiap hari berdandan di kantor. Mungkin takut berantakan kalau berdandan dari rumah.

"Iya, Mbak."

"Eh, ada yang oke tuh. Udah kenalan belum?"

Aku terdiam. Otakku meraba-raba maksud Mbak Desy.

"Maksudnya?"

"Lihat aja sendiri, Binar..." Mbak Desy selesai melirikku dan mukanya berubah jadi genit.

Oh, dia pasti sedang ngomongin Dirga. Of course.

"Kan ada tiga tuh. Yang dua lagi kayaknya udah nikah. Nah, yang satu itu kayaknya masih single deh," jelasnya sambil senyum-senyum tidak jelas.

"Oh, gitu," balasku sekenanya, sama sekali tidak tertarik.

"Kesempatan, Bi! Mumpung orangnya masih di sini, cepat-cepat kenalan." Mbak Desy semakin antusias. Kalau tidak ingat tata krama, ingin rasanya aku menyumpal mulutnya dengan beauty blender di tangannya supaya berhenti membicarakan Dirga.

"Kenalin dong, Mbak, makanya! Masa dia minta kenalan sendiri." Edo tiba-tiba nimbrung dari belakang. Dia adalah salah satu teman akrabku di kantor ini yang punya 'jiwa sosial' yang sangat tinggi, jadi suka masuk ke pembicaraan orang lain tanpa diundang.

"Iya juga sih. Kapan-kapan aku kenalin deh kalian."

Aku menarik napas panjang. "Memang Mbak tahu darimana dia masih single? Karena nggak kelihatan pake cincin?" tanyaku sedikit penasaran. SE-DI-KIT, ya. Nggak banyak!

"Jadi kemaren tuh si Dirga pulang terakhir, dua temannya yang lain udah cabut duluan. Pak Burhan nyamperin terus bercanda, 'kamu karena belum ada yang nungguin di rumah jadi yang paling terakhir pulang ya?' Gitu."

"Ohh..." Edo merespon. Padahal tadi aku yang bertanya.

"Yakali aja istrinya lagi di luar kota maksudnya... Eh, ini udah jam berapa sih? Astaga!" Aku melihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan 5 menit kurang 8. "Mbak, jadi aku pake ruangan yang mana nih?!" tanyaku dengan panik.

***

Rapat berlangsung dengan lancar hingga pukul 9.30 pagi. Setelah selesai, aku diajak Arisha ke bawah untuk ngopi sebentar. Arisha tampaknya memang tidak mau menyia-nyiakan kebebasannya selama Mbak Tari di luar kota.

"Gue ada yang perlu ditelepon nih. Entar gue nyusul deh."

"Lama, nggak?"

"Nggak, paling 5 menit. Mesti secepatnya sih."

Arisha pun turun duluan dan aku make some call ke sebuah vendor di luar kota. Setelah 5 menit aku pun menyusul Arisha ke bawah.

Saat sampai di depan lift lantaiku, aku memencet tombol turun dan diarahkan untuk mengambil lift F. Hanya ada aku sendiri di sini yang menunggu. Sepi. Hening. Tidak seperti jam makan siang atau jam pulang kerja yang ramai dengan karyawan turun ke bawah.

Tapi sesuai dengan idiom 'the calm before the storm', firasatku mulai tidak enak. Ada suara langkah kaki yang mendekat, semakin lama semakin jelas tapi juga semakin pelan. Benar saja. Aku bisa melihat dari sudut mata kananku, tanpa perlu menoleh, Dirga ada di sini sendiri. Kami hanya berjarak 1,5 meter. Ia berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana dan menghadap ke lift.

Suasana hening kembali, tapi tidak dengan jantungku yang kini bekerja dengan cepat. Saat ini kepalaku hanya dipenuhi satu pertanyaan, apakah kami untuk seterusnya akan tidak saling berbicara satu sama lain? Haruskah aku mulai berbicara duluan? Atau dia yang seharusnya mulai duluan? Nggak tahan sih diam-diaman gini terus. Cuti sebulan-dua bulan juga nggak mungkin, kan?

"Hai, Ga..." Akhirnya aku menyapanya duluan. Bodo amat kalau terkesan sok akrab. Dirga menoleh dengan sedikit kaget, mungkin tidak menyangka aku akan menyapanya.

~

NostalgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang