Bab 5 - Bagaimana Bisa?

26.7K 3.8K 49
                                    

Mendung dan macet menjadi satu di Jakarta sore ini. Aku dan kelima teman kantorku; Arisha, Edo, Widya, Rifni dan Ginanjar akhirnya 'terdampar' di Senayan City, bukan Plaza Senayan. Hal ini disebabkan Widya perlu mencari kebutuhan untuk anaknya yang berumur 1,5 tahun yang adanya di Sency, tidak ada di PS.

Kalau aku sih dari awal tidak keberatan dengan perubahan rencana ke Sency, tapi Edo dan Rifni kompak untuk bertahan ke PS hanya karena berbagai alasan tidak penting.

"Kan tinggal nyeberang aja, Wid, ke Sency," bujuk Edo.

"Nyeberang pakai apa? Pake Grab?"

"Yaelaahh... Ratu Elizabeth banget sih?! Emang lo nggak pernah nyeberang jalan ya?" seloroh Rifni cukup sadis.

"Kasihan flats baru gue, entar lecet kena aspal."

Rifni langsung saja melirik ke sepatu yang dikenakan Widya. "Halah, flats lo beli di Pasar Baru juga! Gimana lagi pake Gianvito Rossi?" gumam Rifni yang memang dikenal tukang nyinyir. Untung nyinyirnya masih lucu, nggak pernah sampai ke level 'umur segini kok belum punya suami? Entar keburu kering lho' ala emak-emak rempong.

"Jidat lo Pasar Baru... Gue beli ini di Blok M Square!" seloroh Widya yang membuat kami semua tertawa.

Dan kami pun berakhir di Senayan City. Acara ngumpul hari ini walaupun judulnya merayakan ulang tahunku tapi bukan berarti aku yang mentraktir. Tradisi kami selama ini, yang ulang tahun justru ditraktir, bukan sebaliknya.

Edo sebagai ketua geng ala-ala, memilih Social Garden untuk tempat kami dinner. Dekorasinya begitu rimbun seperti di taman asli, cocok untuk bersantai bersama teman-teman di malam hari, meskipun harga makanannya bisa membuat jiwa buruh kapitalis di akhir bulan seperti kami memberontak.

"Yang ulang tahun dulu deh pesan," Ginanjar meyodorkan buku menu yang lalu kuterima dengan senang hati. Oh iya, kami juga sepakat untuk tidak memakai kue apalagi nyanyi lagu Happy Birthday untuk ulang tahun siapapun. Kami berpendapat bahwa hal tersebut buang-buang waktu, lebih baik duitnya dipakai buat bersedekah.

"Gue pilih yang paling mahal aja dong ya? Stokyard Ribeye enak nih kayaknya," ucapku sambil menyebut pilihan menu seharga 450 ribu tersebut.

"Boleh. Entar pas giliran gue ulang tahun, kita ke Wolfgang's aja, oke?" timpal Ginanjar tanpa ampun, menyebutkan nama sebuah restoran steik premium di Jakarta.

Widya menatap kami berdua sambil menghela napas. "Ini lama-lama kita pindah ke KFC aja gimana?"

"Tanggung. Kantin di basement bawah aja sekalian," sambar Edo.

Ginanjar langsung melirik ke Edo dengan tajam. "Terus ngapain lo tadi milih tempat ini, monyong!" Untung mereka duduk berjauhan, kalau tidak mungkin sudah baku hantam.

Aku pun akhirnya memilih Balinese Style Slow-roasted Chicken yang sepertinya cukup mengenyangkan. Kelima temanku memilih menu yang bervariasi.

Di pertengahan makan, Edo mengajak kami semua untuk bersulang dan mendoakan yang terbaik untuk ulang tahunku yang ke-25 ini.

"Make a wish, Bi!" seru Arisha.

"Oke." Aku pun menutup mata dan menggenggam kedua tangan untuk memikirkan wish yang aku inginkan.

"Yee, disebutin dong! Ngapain juga kita ngeliatin lo merem doang, kayak lagi meditasi," sekali lagi Rifni mempertunjukkan bakatnya yang luar biasa dalam bidang 'pernyinyiran'.

"Ya ya ya... ehem, wish pertama gue semoga selalu sehat dan diberi umur panjang..."

"Aamiiinn..." balas mereka berlima bersamaan, kayak lagi solat berjamaah.

NostalgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang