Bab 7 - Migrain

25.4K 3.6K 56
                                    

Kami berlima sudah duduk manis di dalam salah satu teater CGV Cinemas. Layar masih menampilkan beberapa pariwara dan trailer film yang akan tayang. Aku duduk di paling kanan, di sebelahku Rifni, lalu Ginanjar, Edo, dan terakhir Dirga yang duduk di paling kiri. Yup, untungnya kami duduk terpisah jauh, sesuai dengan harapanku. Tadinya Ginanjar ingin duduk di sebelah Dirga sebelum Rifni menyindirnya, "ya elah nempel mulu sih kalian kayak origami. Semobil berdua, nonton pun sebelahan."

Ginanjar pun melihat ke kanan kiri, "yaudah gue di tengah aja, atau lo mau di tengah Ga?"

"Udah gue aja di sebelah Dirga. Lo di tengah, Gin." Edo dan Ginanjar pun tukaran tempat duduk.

Dari ujung sini, aku geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Dasar cowok-cowok rempong. Namun yang penting untukku saat ini adalah aku tidak bisa melihat Dirga sedikitpun karena terhalang yang lain. Dengan demikian aku bisa menikmati film ini dengan tenang dan nyaman selama sekitar satu setengah jam ke depan.

***

Film pun telah selesai. Kami berlima baru keluar dari bioskop.

"Pada mau makan di mana nih?"

"Terserah sih, laper banget," jawab Rifni.

Saat ini memang waktu sudah mencapai pukul 9. Sangat telat untuk makan malam. Perutku pun juga sudah meronta-ronta. Walaupun tadi berbagi berondong jagung dengan Rifni, tapi rasanya cuma kayak nelan angin.

"Lo, Gin, mau di mana?" tanya Edo lagi.

"Terserah, gue ngikut aja," balas Ginanjar.

"Ini lama-lama kalo terserah semua, ke TWG aja mau?" seloroh Edo yang terlihat mulai kesal.

"Duh, nggak usah sok-sokan high tea deh, perut gue laper asli! Food court aja deh, yok?" Ginanjar menimpali.

Suasana seketika hening. Rasa-rasanya ada yang aneh...

"MANA ADA FOOD COURT DI SINI, MONYONG!" Edo yang pertama kali buka suara. Kami semua tergelak.

"Makanya otak gue udah megap-megap ini. Laper banget," dalih Ginanjar.

"Shaburi aja mau nggak? Seru kan rame-rame gini..." usul Edo.

"Udah malem, Do. Gue maunya cuma duduk manis terus makan, nggak usah pake masak-masak," balas Rifni.

"Yaudah, Kafe Betawi aja gimana?" usulku.

"Setuju," ucap Rifni dengan semangat.

"Boleh," timpal Dirga.

"Okeh, let's go!" Dengan penuh semangat Edo pun menuntun kami ke Kafe Betawi.

***

Suasana di Kafe Betawi tidak begitu ramai, mungkin karena sudah jam 9 malam, dan mal ini adalah Pacific Place, bukan mal sejuta umat seperti Pondok Indah Mal atau Kota Kasablanka yang selalu ramai. Kami pun memilih meja yang cukup untuk 5 orang. Namun kali ini aku tidak seberuntung ketika nonton bioskop tadi karena saat ini Bapak Dirga Sadana Hassan sudah duduk tepat di depanku. Bukan karena sengaja juga sih, tapi Dirga yang memang jalan paling belakang, hanya kebagian kursi di depanku. Sedangkan Edo, seperti biasa, duduk sendiri di sisi samping, merasa dirinya raja.

Karena benar-benar kelaparan, aku pun memesan dua makanan yang memang menjadi favoritku: Mie Kangkung dan Tempe Mendoan, serta Es Jeruk Nipis sebagai pelengkap. Rifni dan Ginanjar juga sudah menyebutkan pesanan mereka masing-masing. Dirga terlihat masih membolak-balikkan buku menu dengan serius.

NostalgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang