Bab 3 - Kecanggungan Paripurna

34.5K 4.2K 59
                                    

"Hai, Binar." Dirga membalas sapaanku. Dadaku berdesir ketika ia menyebut namaku untuk pertama kali setelah sekian lama. Sekarang aku juga tahu kalau ia masih ingat denganku—ya kan siapa tahu saja dia pernah kecelakaan, amnesia, lalu lupa sama mantannya dari 4 tahun yang lalu ini.

Duh, terus ngomong apa lagi? Lanjut basa-basi atau diam saja? Ini nggak ada orang lain apa yang mau masuk ke lift ini juga biar kami nggak berdua saja??

"Apa kab...ar?" ucap aku dan Dirga bersamaan. BER-SA-MA-AN. Ha ha ha lucu sekali. Kenapa hari ini semakin mirip telenovela.

"Baik," jawabku duluan cepat-cepat sebelum dia keburu jawab secara bersamaan lagi. Dirga seperti menahan tawa. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi aku senang suasana semakin cair.

"Baik juga," jawabnya singkat sambil menghadap lift, dengan kedua tangannya masih di dalam saku celana.

Tiba-tiba lift terbuka. Finally...

Tunggu, tunggu ... elevatornya kenapa nggak ada orang juga?! Sial!

Kami berdua pun masuk. Sepertinya ia juga turun ke lantai yang sama denganku, padahal aku berharap ia hanya turun satu atau dua lantai di bawah biar keluar cepat.

"Mau ke bawah?" tanyaku spontan untuk kembali mencairkan suasana. Lalu kusadari betapa bodohnya pertanyaan itu. Ya iyalah mau ke bawah, ini kan liftnya emang mau ke bawah! Masa ke samping?!

"Iya. Mau cari kopi."

"Oh."

"Kamu?"

"Sama. Mau ngopi bentar sama teman."

"Udah lama kerja di sini?"

"Lumayan, 1 tahunan. Kamu kerja di mana?"

"Macavel."

Sudah tahu sih sebenarnya, tapi namanya juga basa-basi.

"Udah berapa lama di Macavel?"

"Tiga tahun ada."

Aku mengangguk sedikit lalu tidak meresponnya lagi.

"Mau ngopi di mana?" tanyanya setelah beberapa saat.

Well, kebetulan di gedung kantor ini ada dua kedai kopi, yang satu bernama Larry letaknya di dalam, dan yang satu lagi bernama Avenue terletak agak di luar dan sebagian areanya outdoor.

"Di Avenue."

"Enakan mana sama yang satu lagi?"

"Menurut aku sih sama saja. Cuma suasananya agak beda."

Dirga tampak berpikir. Please, please, jangan bilang mau ke Avenue juga...

"Pengin nyoba Avenue sih. Kemaren udah nyobain yang Larry."

Crap.

Kami pun sampai di lantai dasar dan keluar dari lift. Dia berjalan sedikit di belakangku, dan aku juga tidak ingin berjalan samping-sampingan dengannya.

Begitu sampai di Avenue, aku langsung mencari sosok Arisha. Namun batang hidungnya tidak kelihatan sedikitpun. Sementara itu Dirga sudah di depan cash register untuk memesan kopi.

Aku mencoba menghubungi Arisha tapi teleponnya tidak diangkat. What should I do now?

Aku pun berinisiatif bertanya ke salah satu barista. Aku dan Arisha memang cukup sering ngopi di sini jadi cukup mengenal para pekerja kafe ini.

"Mas, ada lihat teman saya nggak? Arisha..."

"Oh, yang rambut panjang kan? Nggak ada tuh, Mbak."

Dirga sedang membayar pesanannya kemudian berjalan ke ujung counter untuk menunggu minumannya. Ia memerhatikanku tapi tidak bertanya apa-apa. Begitulah Dirga, dia tidak suka mencampuri urusan orang lain, selalu menjaga boundaries dan jarang membuat orang lain tidak nyaman dengan keberadaannya—well, kecuali untuk kasusku ini.

NostalgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang