Bab 9 - Masa Lalu

28.9K 3.3K 59
                                        

"MIE kangkung  gue siapa yang ngembat semalam?" tanyaku begitu sampai di kubikel tepat pukul 8 pagi.

Edo dan Rifni tatap-tatapan.

"Kalian berdua?" tanyaku lagi.

"Ya dong, bagi dua. Nggak habis juga kali kalau gue embat sendiri," balas Rifni.

"Gimana lo sekarang, Bi? Udah enakan?" tanya Edo.

"Udah."

"Whatsapp-nya semalam kok nggak dibalas lagi?" sentil Edo.

"Apanya yang perlu dibalas?" semprotku.

"Udah, udah. Jangan berantem, masih pagi nih." timpal Rifni. Tumben bijak.

"Ha ha ha. Gue tahu lo kuat, Bi," Edo mengangkat lalu menekuk tangan kanannya seperti Popeye yang sedang mempertunjukkan otot lengannya.

Aku melengos lalu duduk di mejaku. Hari ini aku mesti menyelesaikan laporan tenaga kerja lokal dari lapangan yang baru aku terima dan sederet tugas lainnya.

***

Waktu menunjukkan pukul 12 tepat. Beberapa karyawan di sekitarku sudah mulai beranjak sejak beberapa menit yang lalu. Sementara aku masih berkutat dengan Microsoft Excel untuk menyusun laporan yang ingin aku selesaikan hari ini juga.

Ponselku memunculkan notifikasi. Ada pesan dari Arisha yang sebetulnya sedang duduk di meja sebelah, tapi terkadang kami tetap lebih memilih chatting lewat WhatsApp demi privasi.

Arisha
Turun, nggak?

Binar
Entar dulu, tanggung. Lagi nyelesain laporan nih.

Arisha
Gue mau turun sekarang. Laper. Lo mau nitip?

Binar
Boleh deh... titip siomay dong. Kayak biasa.

Arisha
Oke.

Aku pun kembali lagi membuka halaman Excel yang sudah penuh dengan berbagai data dalam bentuk diagram dan persentase. Setiap kali aku mengerjakan laporan seperti ini, waktu seakan berlalu begitu cepat karena fokus yang dibutuhkan untuk memerhatikan setiap detailnya. Jika ada satu data saja yang salah input, keseluruhan data bisa salah atau error karena setiap cell terintegrasi satu sama lainnya. Hal ini juga yang biasanya membuatku sulit untuk berhenti hingga laporan sepenuhnya selesai.

Setelah kira-kira lima belas menit berlalu, tiba-tiba ada yang menaruh sebuah bungkusan plastik berwarna putih di atas meja dari belakang. Tanpa menoleh, aku yakin itu pasti siomay dari Arisha.

"Thanks ya, Sha," ucapku cepat sambil tetap menatap monitor.

"You're welcome."

Deg. Suara ini sama sekali bukan suara Arisha, melainkan suara seorang laki-laki... yang sangat aku kenal.

Aku pun menoleh dan kulihat Dirga berdiri di sampingku. Jujur saja aku kaget, baru kali ini Dirga mampir ke kubikelku.

"Apa ini?"

"Nasi kuning."

Kuperhatikan lagi bungkusan itu dan aku masih meraba-raba apa maksud Dirga. Ini maksudnya ngasih, atau mungkin dia jualan? Otakku juga lagi tidak bisa berpikir jernih di tengah mumetnya membuat laporan.

"Belum makan kan? Udah jam 12 lewat."

"I-iya sih... Ini buat aku?" Sesungguhnya aku bingung harus bereaksi seperti apa.

"Iya."

"Thank you but you don't have to do this. Aku udah nitip siomay sama Arisha."

"Arisha paling sampai sini jam 1 kan karena dia makan dulu di bawah?"

NostalgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang