3. Pesona second lead

1K 210 70
                                    


♡ Happy reading ♡

“Bayangkan anganmu berubah nyata”

{}--{}--{}

“Ini rumah sakit. Mohon tidak berbuat gaduh,”

Ken, menegur dengan senyum tipis.

Seira sekarang sedang menyaksikan secara langsung perselisihan antara dua karakter tokoh. Ini sedikit menyenangkan. Semua yang dikatakan dalam novel mengenai kepribadian dan ciri khas mereka benar. Tidak ada yang keliru.

Regan, sang tokoh utama. Si pria dingin yang kejam dengan tempramental buruk. Dan Ken, pria second lead yang mempunyai sikap tenang dan murah senyum. Sikap keduanya sangat bertolak belakang.

Dari cara pandang saja sudah sangat berbeda. Regan dengan bola mata hitam legam menatap dingin dan tajam, menakutkan. Sementara Ken dengan bola mata coklat salah satu ciri khasnya bisa memancarkan aura hangat dan bersahabat, menyenangkan.

Seira memekik tertahan karena merasa bersemangat. Tidak pernah terlintas sekalipun dalam pikirannya akan menyaksikan langsung para karakter tokoh seperti ini. Bayangkan saja semua imajinasi yang di tulis oleh sang penulis novel kini terpampang nyata di depan mata. Percayalah, ini seru.

“R-ruangan 404, Tuan.” Suara gemetar petugas memecah keheningan antara dua orang pria itu.

Regan menggeram menghentakkan tangan Ken kasar. Pria itu menatap sekilas kearah Seira sebelum memutuskan melenggang pergi. Untuk saat ini yang terpenting adalah memastikan Layla baik-baik saja. Masalah dengan tunangan sialan itu akan ia urus nanti.

“Apa anda baik-baik saja, Nona?”

“Eh?” Seira mengerjap. Memandang Ken yang kini berdiri menghadapnya. Matanya menghantarkan perasaan hangat dan nyaman. Seira tidak berbohong. Ia benar-benar merasakannya.

“Ah, iya,” Ucapnya reflek menunduk. Bisa-bisanya Seira salah tingkah di hadapan Ken. Si pria satu ini meskipun mempunyai peran sebagai second lead—yang akan berakhir dengan kemalangan cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi karismanya tak kalah hebat dari Regan.

Pesona second lead itu benar adanya.

“Kau yang harusnya mengisi peran utama,” Gumam Seira tanpa sadar mengeluarkan opininya sendiri.

“Ya?” Ken merasa gadis dihadapannya ini sedang mengatakan sesuatu meski terdengar samar baginya.

“Ah, tidak,” Seira tersenyum, semanis mungkin lantas berkata. “Aku, aku baik-baik saja, Dokter,”

Ken tersenyum. “Syukurlah, kalau begitu saya permisi,”

Seira hanya mematung tak menanggapi. Hanya sibuk terpesona mengamati wajah cerah Ken. Bahkan Seira terus memandangi pria itu hingga menghilang di pembelokan koridor. Jika pada saat membaca novel Seira menganggap karakter tokoh Ken itu terlalu baik dan membosankan, maka Seira akan menentang anggapannya sendiri.

Kenyataannya, pria seperti Ken saat dilihat secara langsung justru pesonanya begitu memabukkan. Ada sudut pandang berbeda ketika Seira membaca novel dan ketika ia mengalaminya langsung. Ken sama sekali tidak membosankan. Sebaliknya, justru senyumannya itu bisa menjadi candu. Sangat betah untuk dilihat.

Seira berjalan keluar dengan suasana hati baik menghampiri dua orang bodyguard yang menunggu dengan setia di parkiran rumah sakit. Mereka menegakkan badan, lantas memberi hormat kearah Seira. Setelahnya membukakan pintu untuk majikan mereka.

“Kita akan kemana sekarang Nona Elina?”

“Aku ingin pulang,” Ucap Seira lemas mengarahkan pandangan ke luar jendela. Ia belum terbiasa dipanggil Elina. Dan ia ingin pulang ke dunianya kembali. Atau pernyataan paling masuk akal, adalah terbangun dari mimpi gila ini.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang