6. Love Song is A Hatred Song

316 29 8
                                    

"Aku harus ke Sekolah Perempuan," ujar Val. "Aku akan sembunyi, jadi nggak ada yang tahu kalau aku ke situ. Bagaimana bisa mereka membaca dan menulis kalau nggak ada yang mengajari?"

"Tapi itu bukan urusanmu!" tukas pria itu ketus. Dixon menarik gadis itu agar tidur di dadanya, sementara lengannya yang satu lagi menutup wajah. "Tidurlah. Besok kau harus mulai bekerja pagi-pagi."

"Aku nggak bisa tidur," keluhnya. Val memang berjanji akan kembali ke Sekolah Perempuan untuk melindungi dan mengajar mereka. Itulah alasannya mau menikah dengan Putra Mahkota.

Gadis itu menatap wajah dingin Dixon, mengagumi sorot matanya yang tajam, rahangnya yang kaku, hidung yang mancung, dan bibirnya yang lembut saat menyentuh bibirnya. Jantungnya berdebar lagi, tapi bukan karena belaian halus pria itu, melainkan sesuatu yang beterbangan di dalam perutnya.

Val menarik napas panjang, lalu mengembuskannya sekaligus. Dia tidak boleh jatuh cinta pada pria itu! Setidaknya sampai Dixon bisa menjanjikan sesuatu yang dia inginkan. Dia harus menganggapnya hanya teman semalam saja.

Tapi gadis itu tetap resah. Teman semalam itu hanya untuk satu malam, bukan selalu terjadi setiap mereka bertemu.

"Kenapa aku nggak boleh meneruskan usaha Ayah?" tanya gadis itu setelah mencari kata-kata yang pas.

"Sudah kubilang, membuka Sekolah Perempuan itu dianggap berhianat. Itu yang dilakukan ibumu sebelum meninggal, lalu ayahmu membantunya. Ayahmu juga mencoba menjebakku dengan menikahkan Virla agar dia bisa memakai namaku untuk keamanan sekolah itu."

"Tapi orang tuaku bukan penghianat!" Val melepaskan diri dari suaminya dan menatap tajam pria itu. "Aku mungkin istrimu, tapi aku juga putri kedua orang tuaku. Lagipula, yang mereka lakukan nggak salah. Kaum perempuan di pulau ini harus dididik agar lebih pintar dan mandiri, nggak mudah diperdaya oleh kaum pria dan bangsawan yang kejam seperti kamu."

"Hei, kenapa aku?" protesnya. "Bukan aku yang melakukan kejahatan ke keluargamu. Ayahmu juga meninggal karena sakit, bukan karenaku," protes Dixon.

Val mendelik kesal. Kenapa sih, cowok ini selalu cari kata-kata yang tajam dan membuatnya marah? Kenapa harus bawa-bawa orang tuanya yang sudah meninggal dalam damai?

"Kamu tahu apa yang terjadi dengan sepupumu itu?" Dixon tiba-tiba mengajaknya duduk. "Aku memergoki dia sedang tidur dengan kekasihnya di hari pernikahan," ucapnya dingin. "Orang tuamu mungkin saja punya niat luhur dan mulia untuk memajukan kaum perempuan. Tapi keponakan perempuannya sendiri yang menghancurkan."

Val terperangah. Wajahnya menjadi masam, entah percaya atau tidak pada pria di sampingnya.

"Setahuku Virla bukan perempuan seperti itu. Kami pernah berkirim surat, dan dia sering menceritakan hal-hal menarik di sini." Val berdiri dan mengenakan pakaiannya. "Kurasa, kita memang punya banyak perbedaan. Lebih baik aku tidur sendirian di istanaku."

"Tunggu, Val!" seru Dixon cepat. "Ini sudah malam. Apa salahnya kamu bermalam di sini?" pria itu menangkap tangan Val, tapi gadis itu menyentakan tangannya sehingga terlepas.

"Sudah waktunya aku kembali jadi Upik Abu!" ucapnya ketus. Gadis itu berdiri dan bersiap membuka pintu saat pria itu memanggilnya.

"Val! Jangan pergi ke Sekolah Perempuan tanpaku, atau kamu akan mendapat masalah." Dixon masih berusaha memperingatkannya, tapi Val tetap melangkah pergi. Dia tak perduli. Gadis itu berlari keluar dari kamar pangeran, meninggalkan istana tanpa dikawal.

Sepertinya Ping sudah menduga kalau gadis keras kepala itu akan keluar dari istana. Jadi, saat Val berlari keluar dari istana, Ping segera menyusul di belakangnya.

Pengantin Idaman Sang SultanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang