10. Just A Closer Walk With

233 23 5
                                    

"Jadi, air yang dijadikan es batu oleh pabrik itu air sungai ini. Lihat saja. Kotor, dan mengandung banyak bakteri E Coli," ucap petugas Balai Kesehatan kepada Dixon.

"Maaf, Pak. Air sungai ini sudah tercemar. Selain limbah dari perusahaan tekstil dan sampah, sungai ini mengandung banyak bakteri yang nggak aman dikonsumsi dalam keadaan mentah. Sebaiknya, kita membuat saluran pembuangan di tempak lain,"

Bapak kepala kesehatan itu mengangguk-angguk.
Seperti suaminya, Val tidak terlalu menanggapi jenis bakteri yang terdapat di sungai itu. Mereka lebih tertarik dengan pimpinan pabrik es batu yang tiba-tiba memutuskan menggunakan air sungai tercemar itu dibandingkan air matang yang sehat.

"Namanya Pak Dicky, dia sudah cukup lama mengepalai perusahaan itu," ucap kepala Balai Kesehatan. "Akhir-akhir ini perusahaan kekurangan dana, jadi dia melakukan hal itu."

Dixon mengangguk-angguk dan tidak banyak menanggapi. Setelah rapat dan makan malam, mereka beristirahat di kamarnya masing-masing, kecuali Val. Sebelum Dixon mengajaknya berkeliling sebentar untuk menyelidiki sungai tercemar itu, dia sempat menghitung pemasukan daerah Bulbo, dan mendapati kemana dana daerah itu tersalur.

"Sebaiknya Bapak membayar pajak ke pemerintah, supaya pemerintah menolong Bapak dalam mensejahterakan penduduk," ucap Val. Sang pemimpin mengangguk setuju. Setelah semua meninggalkan ruang rapat, Dixon mengajak Val berjalan-jalan.

"Mau cari apa, sih?" Keluhnya. "Kan sudah ketahuan masalahnya. Mau cari apanya lagi?" Val berjalan terseok-seok dan mengeluh.

Pria di hadapannya tersenyum, lalu meraih tangan gadis itu untuk membawanya melewati jalan berbatu.

"Kenapa kita menjauh dari sungai?" tanya Val kesal. Dia terpaksa mengikuti langkah pria itu naik sampai tiba di jalan berbukit. Dixon menariknya ke balik semak, lalu menaruh telunjuknya di mulut.

"Hei! Apa-apaan, sih?" protes Val. Tapi Dixon menggenggam tangannya erat dan mengarahkan matanya menatap sungai. Val mengikuti tatapan pria itu, lalu tersentak kaget.

"Itu kepala Balai Kesehatan," bisik Val. Dixon mengangguk pelan. Untuk sesaat keduanya diam membisu, sampai seseorang muncul dari dalam pabrik dan menemui Pak Kepala dengan wajah menunduk. Pak Kepala terlihat marah, dan menampar pria di hadapannya. Setelah beberapa saat mereka bicara, pria itu kembali masuk ke dalam pabrik dan Pak Kepala keluar dari tempat itu.

"Dia sudah pergi," bisik gadis itu tanpa menyadari wajahnya yang sangat dekat dengan Dixon, sehingga bibirnya nyaris menyentuh pipi pucat pria itu. "Maaf," bisiknya cepat. Suaranya sangat lemah. Jantungnya berdebar kencang dan wajahnya menjadi panas. Val menyadari tangannya yang masih di lengan pria itu, menjadi berkeringat, dan bibirnya jadi terasa kering.

Namun pria itu tidak melepas genggamannya, tapi menarik tubuh Val ke dadanya, membuat jantung Val seakan copot karena terkejur. Gadis itu ingin mengatakan sesuatu, tapi Dixon sudah menghentikannya bicara dengan bibirnya. Val masih membelalak tak percaya saat bibir lembut pria itu sedikit membuka, dan mengambil alih kesadarannya.

Val ingin berkata ini bukan waktu yang tepat dan tempat yang cocok, tapi Dixon tak memberinya kesempatan, sampai akhirnya sang Pangeran angkuh menghentikan kegiatannya dan melepas pelukannya.

"Ini bukan tempat yang cocok," bisik Dixon, dan Val membelalakkan mata.

"Itu yang mau kukatakan," gerutunya. "Aku ingin bertanya ..."

"Simpan dulu pertanyaanmu sampai kita di kamar," potong Dixon. Val terperangah. Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu, tapi dia mengikuti dengan patuh sampai tiba di penginapan.

Val yang merasa tubuhnya lengket dan kotor, langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Dia menukar pakaiannya dengan piyama sutra, lalu duduk di depan cermin untuk merawat kulit wajahnya dengan krim, sambil menunggu sang Pangeran yang katanya akan membicarakan sesuatu.

Pengantin Idaman Sang SultanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang