Sebelumnya ketika Reynar masih kecil, ketika usianya masih enam tahunan bocah lelaki itu teramat menyukai hujan. Melompat-lompat kecil dan tertawa dengan bahagia seraya merentangkan tangan menikmati sensasi hujan yang membentur tubuhnya. Bahkan dia tak menghiraukan panggilan ayahnya untuk berhenti bermain hujan karena takut akan sakit nantinya, tubuh anak itu sedikit lemah soalnya. Terlalu gampang untuk sakit namun juga terlalu bandel untuk selalu menyakiti dirinya sendiri dengan bermain hujan-hujanan. Bagi Reynar, suara hujan dan petir yang bersahutan adalah melodi paling indah, padahal banyak sekali anak-anak seusianya yang takut dengan suara petir.
Namun semuanya berubah ketika dia berlari di ruang tamu dan tak sengaja menyenggol gelas kopi di meja hingga membasahi kertas-kertas dengan gambar pakaian yang begitu indah yang dibuat ibunya. Reynar mematung menatap kosong pada kertas yang kini telah ternodai hingga ibunya datang lantas mendorong tubuhnya kencang hingga terjatuh membentur sofa.
"Kau memang seorang penghancur." Ibunya berseru lantang sementara Reynar hanya mampu menundukkan wajahnya. Terlalu takut dengan kedua bola mata ibunya yang melotot seperti ingin ke luar sementara rahangnya yang dicengkeram kuat membuat Reynar meringis kesakitan.
"Gara-gara kamu semua desain baju yang ku buat rusak."
Reynar tidak sengaja. Sungguh. Dia tak sengaja menumpahkan kopi dan mengotori kertas-kertas milik ibunya.
"Seharusnya aku tidak pernah melahirkanmu ke dunia karena itu hanya sebuah kesialan bagiku."
"Ma, Reynar--"
"Sekarang kamu harus ikut denganku," ucapannya terpotong dan wanita yang dipanggilnya ibu kembali menyeretnya untuk ke luar dari rumah dan masuk ke dalam mobil.
"Ma, kita mau ke mana."
Ibunya tak menjawab, melainkan mulai menjalankan mobilnya ke luar dari halaman rumahnya dan begitu sampai di jalanan laju mobil ibunya bertambah. Begitu cepat dan membuat Reynar ketakutan.
"Ma pelankan mobilnya, Rey takut."
Bocah lelaki itu memohon, namun bukannya memelankan mobilnya ibunya malah menambah kecepatan membuat Reynar hanya bisa berpegangan pada sabuk pengaman dan menangis tanpa suara. Ia takut, benar-benar ketakutan.
"Ma Rey mohon,"
Berkali-kali Reynar memohon namun ibunya hanya diam, terus melajukan mobilnya melewati setiap kendaraan yang menghalangi jalan tak peduli bahwa saat itu hujan tengah turun begitu deras dan membuat jalanan begitu licin.
Sebuah motor yang melintas secara tiba-tiba, membuat ibunya mengerem mendadak membuat Reynar terhuyung ke depan hingga kepalanya membentur dashboard mobil. Dejavu. Reynar kembali merasakan hal yang sama seperti beberapa bulan lalu. Dan kembali, di tempat yang sama, luka itu kembali hadir. Darah itu kembali mengalir yang dengan cepat Reynar usap.
Sementara Ibunya hanya mengumpat kesal kemudian kembali melajukan mobil, tanpa pernah menoleh ke arahnya. Tanpa pernah bertanya apakah dirinya baik-baik saja.
Hingga mobil itu berhenti, dan Reynar bisa bernapas lega berpikir bahwa penderitaannya akan berakhir namun sepertinya semesta terlalu senang untuk membuatnya menderita.
Tepat ketika mesin mobil mati, dan ibunya melangkah ke luar kemudian membuka pintu dan menyeretnya ke luar, Reynar tahu bahwa hari ini adalah awal dari segala rasa takut yang tak bisa dia hilangkan ketika besar nanti.
"Kamu diam di sini, itu hukumanmu. Satu jam lagi Mama jemput."
Wanita itu pergi, dan Reynar hanya mampu mengejar mobil ibunya hingga terjatuh. Kini bukan hanya kepalanya yang terluka, tetapi lututnya pun terasa perih karena berbenturan dengan aspal. Menciptakan darah yang mulai keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
REYNAR || Huang Renjun [END ✔️]
Teen FictionReynar Raksa Nugraha hanya punya satu keinginan yaitu dia tak ingin merasakan kehilangan, namun kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Mau tidak mau, suka tidak suka kita harus merasakan kehilangan seseorang yang berharga meski akan selalu menimbu...