9.

3 1 0
                                    

"Ngapain sih? Dari tadi diperhatiin kayanya ribet sendiri," tanya Tao menghampiri Kris yang sedari tadi tengah bergulat dengan pekerjaan yang entah apa sedang dikerjakannya.

Dengan mulut penuh makanan, Tao menganggukkan kepala lalu menggeleng. "Dasar gila! Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami! Lebih baik kau berhenti, Kris!" cemooh Tao pergi meninggalkannya.

Kris memutar tubuhnya. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu menatap tajam Tao yang sudah duduk nyaman di sofa dengan mulut yang masih mengunyah.

"Lama-lama ku jahit juga mulutmu itu! Belajar dari ibu-ibu komplek yang suka nyinyir ya?" oceh Kris kesal. Pasalnya lelaki bermata panda itu selalu mengkritik apa yang sedang ia kerjakan. Dan yang membuatnya kesal adalah kalimat yang keluar dari mulut kecil Tao terasa seperti pisau. Sebuah pisau yang siap mengiris telinganya kapan saja setiap kali lelaki itu berucap.

Tao mengendikkan bahunya. Ia tak peduli. Tangannya menyambar remote televisi yang tergeletak manis di atas meja lalu menekan tombol ON.

"Wanita di dunia ini masih banyak, bukan Abel seorang. Di kampus juga ga kekurangan wanita cantik kok," ujar Tao tetap fokus pada program tv yang tengah ditontonnya.

"Lagi pula masih banyak juga 'kan yang  mau mengantri untuk jadi pacarmu? Ga usah pusing lah! Pilih saja salah satu dari mereka. Selesai perkara. Semudah itu bung!" tambahnya lagi enteng.

Kris menatap Tao dengan tatapan terkejut. Ia sangat mengenal Tao. Lelaki yang usianya terpaut dua tahun lebih muda darinya terkenal sangat apatis, apalagi jika berurusan dengan perempuan.

"Kurasa, kau sudah benar-benar menerima Abel sebagai saudara tirimu," ucap Kris dengan nada sedikit mengejek melihat Tao yang mulai banyak berkomentar terlebih lagi ini menyangkut perempuan.

"Berpikirlah sesukamu, Kris!"

Sejenak garis bibir Kris naik ke atas. Ia menemukan sesuatu di ujung sana. Sesuatu yang mungkin akan mempermudah jalannya. Baginya, semua yang ia mau, harus ia dapatkan! Apa pun caranya, Kris tak peduli.

***

Wajah Baekhyun tidak secerah pagi ini. Jika biasanya pancaran sinar wajahnya akan bersaing dengan sinar mentari, hari ini wajah itu redup bak langit tengah mendung.

Berkali-kali lelaki berwajah manis itu menatap layar ponselnya. Ia terus menatap dengan ekspresi yang sulit diartikan. Air mukanya langsung berubah. Baekhyun menjadi uring-uringan setelah membalikkan layar ponselnya. Sesekali ia mengacak-acak rambutnya. Kesal dan frustasi.

"AIISSHH!" teriak Baekhyun tiba-tiba.

Sang manajer yang kebetulan berada dalam satu ruangan dengannya terlonjak kaget lalu menatap nyalang ke arah Baekhyun.

"Michyeoseoyo?!" omel sang manajer yang bernama lengkap Do Kyungsoo.

Baekhyun menatap sebentar manajer Do lalu kembali mengacak rambutnya hingga tak beraturan. "Ahh molla!"

Manajer Do hanya menggelengkan kepalanya. Lelaki itu sangat sabar menghadapi tingkah Baekhyun yang membuatnya terkadang harus mengelus dada.

"Kau mau kemana eoh?" tanya manajer Do melihat Baekhyun melangkah keluar ruangan.

Baekhyun menghentikan langkahnya lalu memutar tubuh menghadap manajernya yang sedikit galak. "Aku mau ke kantin bawah. Mau beli kopi dingin untuk mendinginkan kepalaku. Wae? Kau mau ikut?"

Manajer Do langsung berjalan menghampiri Baekhyun yang di ambang pintu sebagai bentuk jawaban dari pertanyaan yang dilemparkan padanya.

Baekhyun menekuk bibirnya. Harusnya tak perlu ia lemparkan pertanyaan karena sudah tahu akan seperti ini jawabannya. Manajer barunya ini memang irit dalam berbicara berbeda dengan Kim Minseok, manajer sebelumnya yang cenderung lebih cerewet dalam segala hal. Tapi di sisi lain, keduanya tetap memiliki kesamaan yaitu selalu menuruti apa yang ia inginkan walau dengan cara yang berbeda. Dan perlu digaris bawahi, hanya mereka berdua yang tahan dengan tingkah random Baekhyun yang sungguh menguras kesabaran.

My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang