'Kak, hari ini Abel pulang dan sekarang dalam perjalanan menuju Korea. Jangan lupa untuk menjemputku ya. Sayang kakak banyak-banyak.'
Christabel atau yang lebih sering di panggil Abel ini, langsung mengaktifkan mode pesawat pada ponselnya setelah mengirimi sebuah pesan singkat untuk sang kakak. Ia menjejalkan begitu saja benda pipih persegi panjang tersebut ke dalam tas mungil yang sengaja disimpan di sebelahnya.
Garis bibir yang melengkung ke atas membuat wajah mungil itu tampak lebih manis dari biasanya. Gadis mungil itu terlalu bersemangat. Ia sangat merindukan sang kakak sampai-sampai membuatnya tak sabar ingin bertemu dan memeluk erat kakak tercintanya itu.
Jika kebanyakan orang-orang yang berasal dari negara empat musim selalu menghindari musim panas, beda halnya dengan gadis mungil berdarah Indonesia - Korea ini. Ia bahkan menyukai seluruh musim tersebut. Katanya, di mana pun kaki sang kakak berpijak, maka disitulah ia akan menyukai segala macam hal yang berada di sekitar kakaknya. Apapun, tanpa terkecuali! Ia akan beradaptasi dengan cepat karena baginya, sang kakak adalah segalanya. Satu-satunya keluarga yang ia punya setelah kepergian sang ibu walau harus terpisah ruang, jarak dan waktu.
Niat hati ingin memejamkan mata saat penerbangan karena perjalanan yang cukup memakan waktu dan juga ia berangkat pagi-pagi sekali tapi apa daya, matanya enggan terpejam bahkan pesawat yang ditumpanginya sudah mengudara sejak tiga jam yang lalu.
Senyum yang sedari tadi mengembang kini perlahan mulai luntur. Matanya menatap kosong keluar jendela, menikmati pesawat yang ditumpanginya membelah awan putih yang terlihat seperti kapas. Pikirannya berkecamuk hebat. Ia belum memutuskan tapi yang pasti, kepulangannya kali ini akan menjadi yang paling lama dari kepulangan sebelum-sebelumnya.
***
Teriknya mentari menyambut hangat gadis berkuncir kuda yang baru saja turun dari pesawat. Direntangkan kedua tangannya lebar-lebar lalu menghirup udara yang terasa berbeda di dalam paru-parunya. Ya.. udara musim panas. Udara yang takkan pernah ia hirup di tempat tinggalnya yang terasa lebih sesak. Senyumnya kembali mengembang lebar. Wajahnya ceria lagi.
Gadis mungil itu melangkah riang menyusuri bandara terbesar di Korea Selatan dan merupakan salah satu terbesar di Asia. Walau sudah sering mengunjungi negara ini, tetap saja tak ada habis-habisnya ia berdecak kagum. Tak salah jika bandara Incheon ditunjuk sebagai bandara terbaik di dunia.
Abel sudah berdiri di pelataran bandara tiga puluh menit yang lalu. Ia menunggu sang kakak yang tak kunjung datang menjemputnya. Bukan tak ingat jalan menuju rumah kakaknya tapi ia ingin seperti yang ada di dalam drama, yang habis berpergian selalu dijemput atau disambut oleh keluarga. Gadis mungil itu tersenyum tipis, 'Oh Abel, hidupmu penuh drama sekali!' batinnya.
Ia membiarkan mata kecilnya melirik ke arah jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Gadis itu sudah putuskan, jika dalam waktu 15 menit lagi kakaknya tidak datang, ia akan pergi ke bistro milik sang kakak hanya untuk memastikan jika benar laki-laki yang usianya terpaut 8 tahun dengannya sibuk atau ia tak segan-segan memarahinya.
Waktu terus berputar, waktu yang ia tentukan nyaris habis. Abel menahan nafasnya. Ia menghitung mundur. Dan di saat gadis itu mulai menghitung, tiba-tiba ada sesuatu yang menabraknya cukup keras dari arah belakang. Abel jatuh tersungkur. Dalam hitungan detik, ia sudah dikelilingi dengan orang-orang atau lebih tepatnya para gadis yang sibuk menggenggam ponsel mereka masing-masing. Bersiap untuk merekam.
"Yaa! Apa kalian tidak bisa lebih berhati-hati lagi? Tolong perhatikan sekitar kalian juga! Aku tak ingin ada yang terluka," racau seorang laki-laki dalam bahasa Korea yang sangat dimengerti oleh Abel.
Abel berusaha bangkit dari jatuhnya. Ia menepuk-nepuk pelan bagian sikutnya yang mungkin kotor. Kepalanya terangkat ke atas ketika ada tangan yang terulur tepat di depannya. Para bodyguard juga sudah berdiri beberapa meter darinya memberi jarak berjaga-jaga jika para kerumunan gadis tersebut tertindak di luar kendali lagi.
"Gwenchana?" tanya si laki-laki berwajah cukup manis itu agak membungkuk.
Abel menyambut uluran tangan tersebut, "Gwenchana... gwenchana," lalu membungkukkan tubuhnya, "Gomapseumnida."
Laki-laki itu tersenyum manis ke arahnya. Setelah memastikan semua baik-baik saja, lelaki itu pun berlalu beserta bodyguard dan jangan lupakan juga gerombolan para gadis yang setia mengikutinya.
Abel berdiri tertegun menatap punggung lelaki itu sampai menghilang dari pandangan matanya. 'Apa dia seorang idol? Atau seorang aktor? Dan apa aku baru saja di tolong olehnya? Kyaa.. dia sungguh manis,' pekik Abel kegirangan.
Mood yang tadinya memburuk, kini sedikit membaik karena insiden tersebut. Setidaknya kekesalan pada sang kakak teralihkan sejenak.
Abel kembali menarik koper sampai ada seorang yang terengah-engah meneriaki namanya.
"Abel-ah, jamkanmanyo, hahh.. hahh.."
Abel memutar matanya malas. Hanya mendengar suaranya saja, ia sudah tahu siapa pemilik suara sedikit nyaring tersebut. Lelaki yang ditunggunya nyaris satu jam yang lalu, sekarang baru menampakkan batang hidungnya.
Lelaki itu terlihat memegangi lututnya yang mungkin lemas. Abel yakin, kakaknya ini baru saja berlarian mencari dirinya.
"Masih ingat punya adik ya? Bagaimana jika aku diculik orang?" omel Abel menekuk wajahnya.
Lelaki itu mengalungkan tangannya di pundak Abel lalu menarik tubuh tersebut agar lebih dekat, "Jangan terlalu banyak drama! Bahkan kau sendiri tahu jalan pulang ke rumah. Lagipula siapa yang akan menculik gadis berisik sepertimu, eoh?" ujarnya menarik keras hidung Abel.
"Sakit kak Minseok!" pekik Abel mengaduh kesakitan.
"Oppa! Panggil aku Minseok oppa! Arraseo?" omelnya memakai bahasa ibu.
Abel mencebikkan bibir. "Mau ku panggil kakak atau oppa, artinya pun sama saja, kak! Kenapa selalu memprotesku?"
Beberapa orang yang lalu lalang di sana, tampak heran melihat keduanya. Mereka terlihat sedang bertengkar dan yang menarik perhatian adalah keduanya bahkan terlibat percakapan dengan bahasa yang berbeda.
Abel, gadis mungil itu lebih senang menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan kakak lelakinya ini. Bukan tanpa sebab, kakaknya ini terkadang masih payah dalam menggunakan bahasa Indonesia. Abel dapat memakluminya karena sang kakak memang murni orang Korea, tidak seperti dirinya yang berdarah campuran.
"Karena aku lebih suka dipanggil oppa daripada kakak!"
Abel hanya berdecih menanggapi ocehan Minseok. Baginya, panggilan 'oppa' itu hanya ditunjukan untuk orang terkasih agar terdengar lebih manis.
"Apa kau masih ingat perjanjiannya?" tanya Minseok.
"Ne.. ne.. aku ingat," jawab Abel yang kini menggunakan bahasa Korea menjawab sang kakak.
Sebuah perjanjian yang cukup unik dibuat oleh kakak adik ini. Sebuah perjanjian dalam menggunakan bahasa. Jika Abel sedang bersamanya di Korea, gadis mungil itu harus menggunakan bahasa Korea dalam berbicara. Begitu juga sebaliknya, jika Minseok bersamanya di Indonesia, lelaki itu harus menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara.
Walau mereka berdua berasal dari ibu yang sama, Minseok cukup dibuat kagum dengan kemampuan berbahasa Abel yang cukup baik. Gadis tersebut mampu menguasai tiga bahasa sekaligus. Hal inilah yang membuat Minseok tidak begitu khawatir dengan sang adik tentang kendala bahasa. Dengan kemampuan bahasanya tersebut, Minseok yakin Abel takkan tersesat di mana pun kaki gadis itu berpijak.
~~~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love
Teen FictionSore itu, di sebuah taman, duduk sepasang anak kecil, di mana salah satu di antaranya tengah sibuk mengikat sesuatu di jari anak yang lain. "Kata eomma, jika mengikatkan benang merah di antara jari yang lain, maka selamanya akan terhubung. Oleh kare...