03 ♡ Titik Ordinat

1.9K 395 45
                                    

---------------------------------
hati adalah penentu, seperti fungsinya yang lain sebagai penggerak anggota tubuh juga penuntun lisan dan sikap seseorang

-- marentinniagara --
---------------------------------

One Squell of Kasta Cinta and the others
-- happy reading --
🎋🎋
.
.
.

MASIH terdengar jelas di telinga, manakala sebuah protes dilayangkan tanpa sebuah pendahuluan. Merasa tidak ada yang salah dengan apa yang telah dijalani lalu mengapa perasaan tidak enak itu hadir menyapa? Tidak ada peraturan bahkan larangan pun tidak pernah tertulis dalam semua kitab perundang-undangan. Hanya sebuah status atau sanksi sosial yang akan disematkan dalam hiruk pikuk pergaulan masyarakat di dunia.

"Dokter Faiyaz__" Wafiq menengok ke arah suara yang sedang memanggilnya. Ardi tiba-tiba muncul dari balik pilar yang ada di sampingnya. "Mohon maaf anda tidak sedang melakukan pendekatan dengan koas Nafiza kan?"

Baru saja bunga itu tersirami setelah tandus dalam gersangnya musim kemarau. Sepertinya semesta tidak merelakan langkahnya berjalan mulus layaknya kendaraan yang menggunakan jasa jalan tol untuk bisa cepat sampai di tujuan.

Langkah Wafiq terhenti lalu mendekat ke arah suara. Meski tidak menyukai cara temannya ini menegur namun sopan tetaplah sopan. Etika dengan rekan sejawat tetaplah menjadi prioritas utama manakala berada dalam sebuah institusi layanan publik yang mungkin disorot oleh banyak pasang mata atas layanan dan sikap tenaga medisnya.

"Ini masih terlalu pagi untuk membicarakan masalah pribadi di rumah sakit. Memangnya tidak ada tugas yang lain sampai harus mengekor apa aku lakukan hari ini?" tidak ingin menutupi, Wafiq hanya ingin melindungi dari orang iseng yang akan membuat Nafiza sakit nantinya.

"Gue hanya bertanya, mengapa lu segitunya sewot. Atau jangan-jangan emang lu lagi pedekate ama koas yang lu kata adik kelas lu."

"Aku nggak sewot Ardi, kamunya saja yang baper. Lagian kalau kamu tahu Nafiza kewalahan mengerjakan tugas koasnya mengapa tidak berusaha untuk membantu?"

"Jangan berusaha menjadi pahlawan kesiangan ya!" Ardi menghardik.

"Buat apa? Apa untungnya buatku?" Wafiq kembali melenggang meninggalkan Ardiansyah yang masih membeo di tempatnya.

Dari awal Ardi memang telah mengetahui Nafiza mengerjakan tugas di kantin seorang diri. Namun tidak berani mendekat karena dia tahu, wanita yang ingin di dekatinya ini sangat jauh berbeda dari wanita-wanita yang justru mengejarnya. Jika mereka bisa takluk hanya dengan kedipan mata atau mobil mewah yang menjadi tumpangannya di jalan raya. Nafiza justru memalingkan semua pandangan itu dan lebih memilih lantai untuk bisa dilihatnya dengan baik. Apa itu artinya wajah Ardi tidak jauh lebih tampan daripada lantai rumah sakit yang setiap hari diinjak oleh Nafiza?

Jujur jika harus berkata iya, Wafiq memilih untuk bisa mengakuinya. Sebelum akhirnya waktu menjadi pemisah dan jarak membuat mereka mungkin mengenal apa yang dikatakan dengan rindu.

Anggaplah wajar dalam sebuah persaingan untuk mendapatkan perhatian. Laki-laki memang lebih tertantang untuk melakukan apa yang tersebut sebagai pengejar atas hal-hal yang diinginkan. Masih dalam batas toleransi dan dia berusaha untuk bisa mewujudkan mimpinya yang tertunda. Toh cita-cita sudah di depan mata. Lalu apa lagi yang harus ditunggu lebih lama lagi?

RECTIFIERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang