PART 4 : Keluarga

88 6 3
                                    

Maaf banget krn baru bisa update😭🙏🏻

Aku sibuk banget, gak di dunia maya ataupun didunia nyata. Pertama, aku udah mulai sekolah offline. Tandanya, tugas udah banyak. Waktu untuk berimajinasi jadi berkurang.

Kedua, aku itu translator yang harus stand by, aku gak punya partner krn partner ku udah cuss ke pondok🙂 (edisi kangen Nay, dan always berdoa biar dia gk tobat)

So, yang sabar ya kalian kalau mau baca🏃🏻 yang baca kayaknya cuma sedikit, jadi aku bikin cerita ini buat seru-seruan dan menambah waktu luang aja.

Kalau gak ada waktu luang, ya gak update. Huhu..

Happy Reading!

***

Matahari terik dari jendela, membuat mata Esther membuka pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Matahari terik dari jendela, membuat mata Esther membuka pelan. Hari ini tanggal 1 Agustus. Hari ulang tahunnya, hari yang paling menyebalkan di dalam hidupnya.

Esther memegang kepalanya yang sedikit pusing. Suasana hatinya sedang buruk, pikirannya kini berkelana, dan aura rumah seakan suram. Apa yang akan terjadi nanti diruang makan? Ucapan selamat ulang tahun? Mustahil.

Kaki Esther bergerak menuruni tangga untuk pergi kekamar mandi, handuk yang bergelantungan di bahu Esther pun seketika jatuh.

Ketika Esther ingin mengambil, sebuah tangan besar lebih dulu merebut handuk tersebut. Mata Esther membelalak. "Kamu, masih ceroboh kayak biasanya."

"Maaf, Yah." Tangan Esther kini mengambil handuk dari Ayahnya dengan keadaan bergetar.

"Habis makan kita ke pemakaman, kamu jangan lama-lama mandinya. Nanti saya tinggal."

Kepala Esther mengangguk paham. "Iya, Yah," jawab Esther yang kini berjalan cepat menuju kamar mandi.

Benar, hari ini adalah hari ulang tahun Esther, sekaligus hari kematian Ibunya.

Ibu Esther meninggal, saat melahirkan Esther. Kata dokter, kandungan didalam perut Ibu Esther sangat lemah, hingga membuat mereka harus memilih antara melahirkan anak tersebut, atau menggugurkan nya.

Esther menunduk. Sial, air matanya keluar lagi.

Andai saja saat itu, Ibu Esther menggugurkan kandungannya, dan hidup saja. Apa Ayah bahagia?

Andai saja yang selamat saat itu Ibu Esther, bukan dia. Apa Ayah bahagia?

Sudahlah, tidak ada gunanya menangisi hal yang kosong seperti itu. Ah, tapi Esther penasaran, kenapa Ibu nya melahirkan Esther? Apa dia tidak memikirkan dirinya sendiri?

Ayah Esther dulunya adalah sosok yang hangat, kata tetangga dan teman-teman Ayah yang datang kerumah.

Ketika mereka datang, mereka selalu menanyakan hal yang sama.

Love MeaningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang