CHAPTER 6

223 56 12
                                    

"Nanti Bapak jemput jam berapa neng kira-kira?" Tanya Pak Jaka sesaat setelah mobil yang ia kendarai telah sampai di gerbang sekolah.

"Jam sebelas, pak." Jawab Karina sambil bersiap keluar dari mobil, bisa ia lihat Pak Jaka mengangguk.

"Assalamualaikum.." ia membuka pintu mobil dan keluar.

"Waalaikumsalam.." sahut Pak Jaka yang terdengar samar ditelinga Karina karena ia sudah berlalu meninggalkan mobil.

Karina memasuki gerbang dengan langkah santai. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lewat lima menit namun suhu juga gelapnya langit bak masih menunjukkan pukul setengah enam. Ia bahkan masih bisa merasakan embun samar-samar menerpa kulitnya. Suhu dingin seperti ini selalu menjadi favoritnya entah kenapa, ia hirup udara hingga memenuhi paru-paru sebelum menghembuskannya perlahan.

Prakiraan cuaca di ponselnya memperlihatkan jika hari ini akan turun hujan sedang, sepertinya memang benar, eksistensi matahari bahkan masih tak terlihat dari arah Timur hingga detik ini, yang ada hanyalah langit biru ditemani awan abu-abu.

Ujung bibir Karina sedikit naik. Berterimakasih pada Tuhan karena telah memberikan awal pagi yang damai untuk mengawali peperangan hari ini, dan seminggu kedepan.

וו×

Lagu Mood yang dinyanyikan dua rapper underrated yaitu 24KGolden dan iann dior menjadi lagu favorit Yudhi belakangan ini. Ia bahkan sudah menghafal liriknya. Seperti sekarang, mulutnya bergerak mengikuti lirik namun tak ada suara yang keluar—tak ingin mengganggu beberapa siswa disekitarnya yang tengah belajar—kakinya menghentak dan kepalanya bergerak menikmati setiap ketukan yang menyalur melalui airpod dikedua telinganya.

Matanya terpaku pada birunya langit di pagi ini. Namun fokus pikirannya hanya pada alunan musik di telinganya, entah sudah berapa kali lagu satu itu berputar, yang pasti Yudhi hanya terus mengikuti lirik saking candunya lagu yang pertama kali ia dengar dua bulan yang lalu ini.

Terlalu hanyut membuatnya tidak sadar jika hentakan kakinya semakin terdengar keras dan matanya yang masih menatap keluar membuatnya juga tidak sadar jika beberapa murid dari kelas XI IPA 1 tengah menggulitinya dengan sinar laser yang memancar dari bola mata mereka.

Sebelum akhirnya seseorang menggebrak mejanya dua kali, tidak terlalu keras tapi tidak bisa dibilang lembut juga, yang jelas sudah mampu membuat Yudhi menoleh pada pemilik telapak tangan yang menggebrak mejanya. Ternyata Panji—salahsatu teman kelasnya. Ia mencopot salahsatu airpod-nya dengan satu alis naik.

"Berisik goblok, untung masih gue yang ngingetin, kalo sampe mereka udah wassalam lo." Mata Panji memberi isyarat pada Yudhi untuk melihat apa yang tengah dialaminya.

Yudhi menoleh dan seketika merasa kikuk karena di tatap penuh kebencian oleh beberapa siswa yang tak dikenalnya. Ia tersenyum canggung karena merasa bersalah. "Sorry.. sorry.."

Panji hanya menggelengkan kepalanya dan mendudukkan diri di kursi yang ada didepan Yudhi namun tubuhnya menghadap ke arah Yudhi.

"Yud," panggil Panji pelan setelah Yudhi selesai dengan acara maaf-maafannya, "perlu gue beliin ketumbat* nggak biar nanti nggak budek* kalo gue panggil?"

Yudhi menghembuskan nafas jengah. "Gue aja nggak belajar kampret."

"Lo ngakunya nggak pernah belajar tapi ujung-ujungnya masuk lima besar terus, ya tai?"

"Itu dia! Gue pun bingung kok bisa-bisanya gue nyempil masuk lima besar padahal gue cuma pasrah sama kapasitas otak gue. Kalo di bandingin sama elo yang sampe bela-belain nyatet materi di telapak tangan tapi mau masuk sepuluh besar aja kayak nunggu rambut Pak Harto tumbuh lagi. Itu kayaknya emang gue dikasih karunia pinter dari lahir, iya nggak sih?" Yudhi berkata bak seorang philosopher dengan tanpa berdosa membawa-bawa si guru killer yang terkenal dengan kumis segarisnya dan gaya rambutnya di usianya yang sudah tak muda lagi. Guru matematika yang selalu bermasalah dengannya.

The Lonely PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang