CHAPTER 9

204 52 9
                                    

Karina tak henti-hentinya dilanda rasa gundah selama tiga harian ini. Ia telah melihat hasil nilai ulangannya, semuanya. Dan tak ada yang perlu dikecewakan, semuanya sempurna dan sesuai harapannya. Namun ketika Pak Doni memanggilnya ke kantor, ia tau ada sesuatu yang tidak beres.

"Perlu kamu tau kalau saya melakukan ini karena saya sudah kenal dengan ayah kamu sejak lama. Tapi Karina.." Pak Doni menjeda dan mulai menatapnya, "posisi saya hanya seorang guru biasa, saya bukan wali kelas kamu lagi sekarang. Mengerti maksud saya, 'kan?"

Karina hanya bisa mengangguk.

Pak Doni menghela nafas cukup dalam sebelum melanjutkan. "Kamu sudah lihat hasil ulangan kamu?

"Sudah, Pak."

"Juga Hani, kamu sudah lihat hasil ulangan milik Hani?"

Mata Karina terpejam, giginya yang gemertak menahan kekesalan hanya bisa ia lampiaskan lewat labium bawahnya. Dengan sedikit nada penuh keputus-asaan ia mengangguk. "Sudah, Pak."

"Sudah? Itu berarti kamu tau akan berada di urutan berapa kamu nantinya, 'kan?" Tanya Pak Doni, tak perlu menunggu jawaban Karina ia melanjutkan. "Gap antara kamu dan Hani hanya berselisih tidak lebih dari sepuluh angka, dengan kamu yang berada di atasnya. Tapi.. dengan nilai tambahan yang akan Hani peroleh melalui norma sosialnya, itu lebih dari cukup untuk membuat les yang kamu jalani seminggu tiga kali berakhir sia-sia."

Karina hanya bisa menunduk. Tak Sudi menatap ke lainnya selain pada sepasang sepatunya, jari jemari bertaut saling menyakiti demi melampiaskan rasa kesal juga takut yang melandanya.

"Karina.." suara tenang Pak Doni ketika memanggilnya membuat Karina sedikit mengangkat kepalanya. "Saya tidak bisa membantumu lagi, ini tergantung pada kamu sendiri. Mulailah mencoba menjalin pertemanan seperti biasa, jangan terlalu menutup diri.."

Teman..

Kapan terakhir kali ia menganggap seseorang sebagai 'temannya'? Sebetulnya, tidak pernah.

Ia pikir, selagi dirinya masih bisa melakukan semuanya sendiri, hal-hal seperti menjalin pertemanan hanyalah sesuatu yang tidak berguna, atau malah justru menjadi sesuatu yang beresiko. Keluarganya sudah lebih dari cukup menjadi tekanan terberatnya, ia tak ingin masalah lain menimpanya, itulah kenapa ia seberusaha mungkin menghindari segala sesuatu yang mungkin akan menimbulkan masalah—seperti pertemanan salahsatunya, dengan cara dirinya menutup diri.

Brakk!!

Lamunannya yang baru berlangsung lima detik seketika dibuyarkan secara paksa oleh sebuah tangan yang entah ada masalah apa hingga membuat seisi kantor terperanjat, ia lihat Pak Doni mengelus dadanya penuh sayang sambil menatap ke arah sumber suara tadi. Karina menoleh ke belakang, sedikit bergeser karena sebuah lemari menutupi tujuan arah pandangnya. Bisa ia lihat seorang guru dengan kumis dan gaya rambut khasnya tengah menatap sangar pada siswa yang berdiri gemetaran didepannya.

Tak mau ambil pusing pada sesuatu yang bukan urusannya, Karina kembali menghadap Pak Doni. "Akan saya usahakan, Pak." Ucapnya yang sebenarnya antara yakin dan tidak yakin mengenai pertemanan tadi.

"Itu harus." Balas Pak Doni tak mau tau.

Brakk!!

Lagi, suara itu menimbulkan gelombang kejut bagi para pemilik jantung yang berada di kantor. Kali ini Karina tak seterkejut seperti saat di awal. Entah apa yang terjadi disana, tapi melihat bagaimana penampilan siswa tadi dari belakang, Karina sudah berani menyimpulkan itu hanya masalah wajar yang terjadi antara guru dan murid.

Dan benar tebakannya. Samar-samar ia bisa mendengar percakapan antara Pak Harto dan siswa didepannya. Mengenai nilai.

Karina tatap Pak Doni yang arah matanya tampak terfokus seperti tengah memikirkan sesuatu.

The Lonely PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang