Tengah malam ini angin sesekali menabrak jendela kamar yang ditutupi gorden merah. Tirai dekil berwarna dasar serupa darah itu bergoyang-goyang akibat embusan udara basah di luar sana yang masuk melalui kisi-kisi atas dan celah kaca. Derunya membawa rintik-rintik air hujan yang mulai turun membasahi kaca tingkap yang kusam itu. Ruangan yang hanya disinari lampu bohlam lima watt ini semakin dingin. Mala terbangun bukan karena selimutnya tidak mampu menghangatkan, tapi lantaran kesakitan yang mulai mendera sekujur tubuhnya.
Napas Mala terputus-putus, sementara kelompak matanya bergerak perlahan untuk membuka. Matanya yang cekung itu dilingkari warna kehitaman, seakan-akan indra penglihatannya itu dijaga oleh kekelaman. Dia yang terbaring kuyu di atas ranjang kini pelan-pelan tersadar dari tidurnya yang tak pernah nyenyak, sementara tubuh kurus keringnya tak bisa digerakkan dengan cepat.
Mala mengangkat tangannya yang gemetar untuk menyeka keringat di keningnya. Peluh dingin itu dia sapu dengan jemari tangan yang tulang-tulangnya terasa ngilu. Sementara itu, kedua tulang pipinya tampak menonjol akibat penurunan berat badan selama dua tahun belakang ini, dan karena hal itu wajahnya berangsur-angsur agak berubah. Rambutnya yang lurus sepunggung tergerai tak rapi, semakin memperlihatkan dirinya yang tampak lebih tua daripada usianya sekarang, yakni 22 tahun.
Gadis berkulit putih pucat ini mulai membuka mulutnya. Bibirnya yang tampak kering dan pecah-pecah itu bergetar pelan, menegaskan sulitnya dia untuk sekadar berucap. "Buu ...," panggilnya dengan suara pelan dan serak. Dia menelan ludahnya karena tenggorokannya terasa kering dan sakit. "Bu, tolong, Buu ...," katanya lagi disudahi dengan terbatuk-batuk.
Bu Wati yang malam ini mendapat jatah untuk menjaga Mala tetap terlelap di sofa di pojok ruangan. Perempuan berusia 50 tahun ini tampak pulas meski merebahkan diri di sofa jelek yang busanya tak lagi empuk. Dia memang sudah kelelahan, bukan hanya fisik, tapi juga psikisnya.
"Bu, tolonggg ...," ucap Mala yang kali ini berupaya bersuara lebih keras. Namun, suaranya itu ditelan oleh kebisingan hujan yang sekarang turun dengan intensitas sedang. Rintik-rintik air yang berjatuhan karena proses pendinginan di udara itu menghantam genting, sehingga menimbulkan bising. Atap rumah itu sebagian sudah retak dan pecah, sehingga di beberapa bagian di rumah ini mengalami kebocoran. Seperti di kamar Mala ini, ada air yang mengalir perlahan di tembok bagian sudut. Kebocoran di tempat itu tak bisa ditadangi menggunakan ember atau baskom, sehingga lap yang dijejali menempel di pojok sudut dinding dan ujung lantai menjadi satu-satunya yang bisa diandalkan, tentu saja agar aliran air tidak sampai menggenangi lantai ubin.
Kilat seketika menyilaukan Mala. Cahaya yang dengan cepat berkelebat di langit itu menerobos masuk melalui kaca jendela. Tak lama berselang gelegar pertir membahana mengagetkan Mala. Sementara di sofa, Bu Wati kini terbangun dari tidurnya karena bunyi gemuruh itu.
"Buu ...."
Bu Wati langsung terkesiap. Perempuan berkulit putih dengan mata sayu ini mengusap wajahnya. Kantuk masih menyelimuti parasnya itu. "Kenapa, La?" tanyanya kemudian seraya menghampiri Mala dengan gerakan letih. Dia duduk di tepi ranjang Mala yang hanya cukup ditempati satu orang. Kini dia memandang Mala dengan ekspresi tak tega. Untuk kesekian kalinya dia melihat ketersiksaan Mala, yang sialnya tak sanggup dia redakan.
"Tolong, Bu." Mala menatap Bu Wati lekat-lekat.
"Kamu kenapa? Sekarang kedinginan atau kepanasan?" sahut Bu Wati sambil menyentuh kening Mala yang dingin. "Ibu matiin aja, ya, lampunya biar kamu gak kepanasan? Nanti ganti sama lilin aja." Dia tersenyum tipis karena merasa tahu betul apa yang hendak dilakukan untuk menolong Mala. Bohlam kekuningan 5 watt memang sengaja dipilih untuk meredam kesilauan dan mengurangi panasnya sekujur tubuh Mala yang sewaktu-waktu terasa. "Atau kamu mau minum?" tanyanya lagi yang memeriksa nakas, di mana ada segelas air putih.
"Enggak," jawab Mala.
"Kamu mau buang air?"
Mala menggeleng lemah dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Ada apa, La?" Bu Wati bingung.
"Mati," timpal Mala pelan diiringi air mata yang bergulir dari sudut-sudut matanya.
"Apa?" Bu Wati yang menunduk agak membungkukkan badannya. Dia ingin mendengar lebih jelas ucapan Mala barusan. "Apa, La?"
"Saya ... saya ... ingin mati aja, Bu," tandas Mala.
Bu Wati kesal sekaligus sedih. Apa yang didengarnya itu bukan kali pertama disampaikan oleh Mala. "Jangan ngomong kayak gitu, La," sahutnya dengan murung. "Kamu harus sabar." Dia membelai kepala Mala yang rambutnya lepek oleh keringat.
"Sakit, Bu." Mala mengerjap-ngerjapkan kedua matanya demi menahan kesakitan di sekujur tubuhnya. Seluruh ototnya seperti digerogoti hewan-hewan kecil yang seolah-olah berada di bawah kulitnya, sementara semua tulangnya begitu ngilu seperti disayat-sayat sembilu. "Saya gak kuat lagi, Bu. Tolong saya, Bu."
Bu Wati menelan ludahnya yang terasa pahit. Lidahnya mendadak kelu karena tak tahu harus berkata apa lagi untuk dapat menenangkan Mala. Saat-saat seperti ini dia kerap merasa gagal sebagai orang tua. Dia tak tahu lagi harus mengobati Mala dengan cara apa, sementara keuangan keluarga sudah semakin menipis. Dia tak mungkin memberi tahu hal itu kepada Mala. Di tak ingin Mala kian putus asa jika tahu keluarganya tengah bangkrut, terlebih karena biaya pengobatan Mala yang dua tahun ini sudah dilakukan, dan sayangnya kondisi Mala kian memburuk.
"Bu, tolong Ibu cekik saya aja sampe saya mati. Atau, Ibu bekap saya pake bantal. Nanti pagi, Ibu pura-pura bangunin saya," ujar Mala lagi yang melihat kesedihan di wajah Bu Wati. Dia terbatuk dua kali, lalu meneruskan, "Karena saya gak mungkin terbangun lagi, Ibu panggil Bapak, Bang Anton, dan Adit untuk meriksa keadaan saya. Dengan begitu, semua orang gak tahu kalo Ibu yang bunuh saya. Mereka akan berpikir saya mati tanpa sepengetahuan Ibu."
Bu Wati menggeleng-geleng pelan dengan perasaan tak percaya, bisa-bisanya Mala merencanakan hal seperti itu. "Mana mungkin Ibu sanggup membunuhmu, La?" sahutnya yang kian merasa susah hati.
"Tolong, Bu," tandas Mala mengiba dengan air mata yang kembali merembas dari sudut-sudut matanya yang terasa perih. "Saya udah gak kuat hidup tersiksa begini," lanjutnya menjelaskan.
Bu Wati terdiam dengan hati remuk redam.
"Tolong, Bu, biar nanti dosanya saya yang nanggung," kata Mala lagi berusaha meyakinkan Bu Wati.
Bu Wati menggeleng seraya mengusap kepala Mala. "Sabar, ya." Dia lagi-lagi jengkel kepada dirinya sendiri karena kembali hanya bisa mengatakan itu, padahal dia tahu kalau ucapannya barusan tidak membantu Mala. Harusnya Ibu aja yang mati supaya enggak melihatmu tersiksa kayak begini, La, sambungnya membatin.
Di luar hujan semakin lebat dan dingin kian membebat. Namun, Mala malah merasa gerah. Detik-detik terus berdetak, sementara rasa sakit yang mendera tubuhnya kian hebat. Kini, dari ujung kaki sampai ujung kepalanya terasa panas. Keringat merembas dari pori-pori kulitnya. Kedua matanya perih dan air mata terus aja ke luar dari kelejarnya yang seakan-akan mendidih.
"La, kamu kenapa?" tanya Bu Wati yang menyaksikan perubahan air muka Mala. Dia menyentuh kening Mala yang kini terasa panas.
"Panas banget, Bu," jawab Mala, lalu terbatuk. "Sakit banget, Bu." Dilihatnya Bu Wati yang tak jelas karena pandangannya diburamkan oleh air mata.
Bu Wati menyibakkan selimut Mala, sehingga kedua kaki Mala yang kurus seperti tinggal kulit membalut tulang terlihat. Kedua kaki Mala yang lumpuh itu sudah kehilangan banyak otot dan besarnya hampir sama dengan lengan. Keadaan itu semakin membuat Bu Wati sedih, tapi lagi dan lagi tak tahu harus bagaimana untuk mengembalikan kondisi Mala seperti semula.
Mala menangis dengan suara pelan. Bukan hanya karena sakit yang kian menggigit, tapi juga panas di sekujur tubuh yang membuatnya serasa terbakar. Dalam hatinya terus membatin, kiranya kali ini malaikat segera mencabut nyawanya. Namun, harapannya itu tak juga terlaksana.
Bu Wati melihat kipas yang terbuat dari anyaman bambu berada di dekat kepala Mala. "Ibu kipasin, ya." Dia meraih kipas itu dan mulai berusaha mengusir hawa panas yang tengah membakar anaknya.
Mala menutup matanya demi menahan siksaan yang tengah bekerja. Entah untuk keberapa kali dia merasa jiwanya begitu nelangsa. "Bu, tolong bunuh saya," gumamnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Nelangsa
HorrorKarena sakit yang tak kunjung sembuh, satu-satunya keinginan Mala saat ini hanya kematian. Namun, harapannya itu tak juga bisa dieksekusi, seolah-olah dia tak bisa mati. Dia yang dua tahun ini cuma bisa terbaring di ranjang, sudah melakukan berbagai...