Adit belum juga bisa tidur lagi, padahal kantuk masih menggelayutinya sejak tadi pagi. Sesekali dia menyentuh lehernya. Meski cuma mimpi, dia seakan-akan masih bisa merasakan cekikan tangan Mala sekaligus hawa panas api yang membakarnya. Dia yang merebahkan diri di kasur masih saja memandang langit-langit kamar, sementara perasaannya semakin tidak mengenakkan.
"Udah, deh, gak usah dipikirin. Itu 'kan cuma mimpi." Anton baru saja selesai mengganti pakaian. Dia yang belum lama ini membersihkan diri terlihat lebih segar, meski tubuhnya terasa tak bugar.
"Gue gak mau lagi nemenin Kak Mala," cetus Adit tanpa melihat ke arah Anton.
"Jangan takut."
Adit beringsut karena agak kesal. "Gimana gue gak takut? Mimpi itu kayak nyata, Bang." Dilihatnya Anton dengan tatapan meminta pengertian lebih. "Kalo elu mimpiin apa yang gue mimpiin, elu pasti ketakutan juga, Bang."
Anton mendesah. "Tugas lu nemenin Mala cuma satu kali dalam seminggu."
"Pokoknya gue gak mau lagi," tegas Adit.
Anton hanya mengembuskan napas panjang. Dia tak mau lagi menimpali ucapan Adit. Dia mau tak mau harus memaklumi ketakutan Adit.
"Gimana kalo mimpi itu adalah pertanda buruk buat Mala dan keluarga kita? Gimana kalo ternyata mimpi itu sebagai peringatan buat kita supaya lebih waspada?" Adit menatap Anton dengan kengerian dan keseriusan yang lebih kentara. "Jangan-jangan mimpi itu ada supaya kita bersiap-siap akan kejadian lebih buruk lagi yang menimpa keluarga kita, Bang."
Anton tersentak karena dia pun pernah bermimpi buruk terkait dengan Mala. Sebenarnya, dia juga sempat memikirkan apa yang Adit sampaikan itu, hanya saja dia enggan mengutarakannya karena khawatir Adit semakin ketakutan. "Ya udah, kita harus makin hati-hati," tandasnya kemudian agar Adit bisa lebih tenang.
Karena Adit tak lagi menimpali dan waktu sudah menunjukkan jam delapan pagi, Anton pun ke luar kamar untuk segera sarapan.
Di ruang belakang Anton melihat Pak Hendra yang baru saja selesai sarapan. Dia duduk di kursi yang barusan ditempati Pak Hendra.
Pak Hendra melangkah menuju kamar Mala. Dia tidak masuk ke kamar anak gadisnya itu. Dia berdiri di ambang pintu dengan pandangan ke dalam kamar tersebut. "Bapak berangkat dulu, Bu."
"Iya, hati-hati," sahut Bu Wati yang menghampiri Pak Hendra.
Bu Wati mendekati Anton setelah Pak Hendra ke luar rumah. "Sarapan dulu, Ton," katanya yang berhenti di depan meja. Dia menuangkan air panas dari termos ke dalam gelas beling. "Ada nasi goreng, tuh."
"Bapak mau ke mana, Bu?" tanya Anton sambil membuka tudung saji.
"Bapak baru dapat kerjaan."
Anton meraih sepiring nasi goreng yang sudah dingin. "Kerja di mana?"
"Jadi keneknya Pak Mahmud. Dia lagi renovasi rumahnya Pak Haji, jadi butuh orang buat ngebantu dia."
"Emang Bapak masih kuat jadi kuli bangunan?" tanya Anton dengan perasaan miris terhadap apa yang hendak dikerjakan oleh bapaknya. Tentu dia tahu betul menjadi kuli bangunan bukanlah pekerjaan yang ringan. Pekerjaan kasar itu membutuhkan fisik yang kuat.
"Bapak, sih, bilangnya kuat." Bu Wati tersenyum tipis. Dia pun merasakan apa yang Anton rasakan. Tak tega rasanya Pak Hendra bekerja sebagai kuli bangunan yang barang tentu akan menguras tenaga.
Anton tak lagi menanggapi. Meski tak sampai hati, dia tak bisa pula melarang Pak Hendra untuk menolak atau membatalkan pekerjaan itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Nelangsa
TerrorKarena sakit yang tak kunjung sembuh, satu-satunya keinginan Mala saat ini hanya kematian. Namun, harapannya itu tak juga bisa dieksekusi, seolah-olah dia tak bisa mati. Dia yang dua tahun ini cuma bisa terbaring di ranjang, sudah melakukan berbagai...