10 - Kilas Balik 2

37 16 2
                                    

            Setibanya di rumah Mala, Ajeng disambut baik oleh Pak Hendra dan Bu Wati. Ajeng memang sudah beberapa kali menginap atau sekadar bertamu ke kediaman Mala, sehingga dia mengenal baik keluarga temannya itu. Meski tidak akrab, Ajeng juga mengenal Adit dan Anton.

Kini Ajeng berada di kamar Mala. Keduanya duduk di tempat tidur bersandar pada tembok. Jendela yang terbuka membuat angin malam masuk ke ruangan yang diterangi lampu bohlam led 15 watt itu.

"Gue masih laper, ih." Ajeng mengelus perutnya. "Gara-gara tadi, gue jadi ngeri mau bebelian makanan."

"Nanti gue suruh di Adit aja buat beliin kita mi instan. Gimana?"

"Ya udah, deh," sahut Ajeng sambil mengangguk pelan, "tapi kasih cabe rawit sama telor ya, La."

"Iya."

"Jadi di warung bakso tadi lu ngelihat setan gitu, La?" Ajeng memulai pokok pembicaraan yang tadi Mala janjikan.

"Warung itu ternyata pake jin penglaris," cetus Mala.

"Jin penglaris ...?"

Mala mengangguk tegas. "Jadi, ada tempat-tempat makan kayak warung pinggir jalan atau restoran yang pake jin penglaris, Jeng. Tujuannya supaya makanan tambah enak dan tentu aja jadi laku."

"Pantesan tuh warung rame terus. Gak nyangka pemiliknya pake pesugihan gitu. Ihh ... serem." Ajeng bergidik takut.

"Gak semua tempat makan pake jin penglaris, Jeng, tapi warung bakso tadi itu salah satu yang make," jelas Mala lagi.

"Iya, gue paham. Ada tempat makan yang gak pake jin penglaris, tapi makanannya tetap enak dan laku."

Mala mengangguk. "Betul."

"Terus, di warung bakso tadi lu ngelihat apa?" Ajeng penasaran karena sebelumnya Mala tak pernah bercerita perihal jin penglaris.

Mala meraih ponselnya. Dia menyetel video yang tadi dibuatnya sambil menjelaskan apa yang dia lihat di warung bakso. Dia menerangkan dengan detail seperti posisi dan bentuk beberapa makhluk halus, serta dugaan-dugaannya terkait tugas-tugas semua setan di warung bakso itu.

"Gila!" seru Ajang yang tak menyangka dengan pemaparan Mala. "Jadi sebenarnya pengunjung makan ludah dan air kencing tuh setan?" Dia menelan ludah dengan perasaan mual.

"Iya, makan ludah dan kotoran setan-setan itu secara gaib."

"Kalo keseringan makan makanan yang udah diludahin sama dikencing setan penglaris gitu ada efeknya, gak?" Ajeng mengernyit ngeri.

"Lama-lama bisa sakit, tapi efeknya gak langsung terasa," jawab Mala dengan serius. "Namanya juga menelan kotoran setan," sambungnya menerangkan. "Gitu, sih, yang gue tahu soal jin penglaris."

Ajeng diam sejenak. Dia tampak berpikir. "Yang namanya pesugihan gitu 'kan pasti pake tumbal. Kira-kira bisa juga, gak, tuh, salah satu yang makan di sana itu dijadiin tumbal?"

"Bisa jadi, Jeng," jawab Mala cepat tanpa terkesan ragu. "Selain ludah dan kotoran setan-setan itu supaya makanan jadi lebih enak dan bikin pengunjung jadi ketagihan, bisa jadi itu juga salah satu cara buat dapetin tumbalnya."

"Maksudnya gimana?"

"Misalnya, tadi kita makan di sana. Nah, setan-setan itu jadi tahu mana di antara kita yang paling tepat dijadiin tumbal mereka. Paham?"

Ajeng mengangguk ragu. "Jadi ludah dan kotoran tuh setan-setan bisa juga jadi petunjuk utuk memilih tumbal yang tepat?"

"Bisa dibilang kayak begitu."

"Serem juga, ya?" Ajeng mengembuskan napas gelisah. "Oh ya, gue bingung dari mana lu tahu soal beginian?" tanyanya kemudian.

Mala terkekeh pelan. "Gue nebak-nebak aja, sih."

"Kirain lu berguru dari siapa gitu." Ajeng ikut tertawa.

"Gak tahu kenapa gue bisa menerka-nerka aja gitu, Jeng, sama perkara yang gaib," ucap Mala dengan serius. "Kayak ada suara dalam diri gue yang ngebisikin, lalu gue jelasin kayak tadi sama lu."

"Mmm ... itu kayak suara hati?" Ajeng ragu dengan pemikirannya.

"Bukan." Mala menggeleng.

"Terus?" desak Ajeng.

"Bukan suara batin atau suara hati gue atas pemikiran gue terkait hal-hal gaib, tapi gue merasa ada pemikiran dan suara lain di luar diri gue yang bersemayam dalam diri gue. Gitu. Lu ngerti, gak?" Mala menatap Ajeng dengan saksama. Dia mendalami paras Ajeng, apakah di wajah temannya makin timbul kebingungan.

"Ohh ... semacam ada jiwa lain yang bersemayam dalam diri lu. Gitu kali, ya?"

"Kira-kira begitulah." Mala terkekeh.

"Leluhur lu kali, La," terka Ajeng kemudian. "Gue pernah dengar, ada orang-orang yang didampingin sama leluhurnya."

"Gue gak tahu pastinya, Jeng." Mala mengangkat kedua bahunya. "Kata orang tua gue, sih, gue nurunin nenek gue yang bisa ngelihat hal-hal gaib kayak makhluk halus gitu. Entah juga, ya, kalo ternyata ada sesuatu yang diturunin ke nenek gue dari leluhurnya," tuturnya menjelaskan.

"Ya, mungkin bisa ngelihat dan ngerasain hal-hal gaib gitu udah jadi kebiasaan turun-temurun di keluarga lu, La."

"Bisa jadi, secara kakak atau adik bapak gue gak ada yang cewek, jadi dari nenek gue langsung nurunin ke gue. Selama ini gue mikirnya gitu."

"Mmm ... betul juga apa kata lu." Ajeng mengangguk. "Terus videonya yang tadi mau lu apain?" tanyanya kemudian.

"Niatnya, sih, mau gue unggah di media sosial. Gimana menurut lu?"

"Supaya ada orang yang tahu dan gak balik lagi ke warung itu. Gitu maksud lu?"

"Kasihan kalo banyak orang makan di sana, lama-lama bisa sakit atau malah jadi tumbal."

Ajeng langsung menimpali, "Lu mau unggah di mana?"

"Palingan di Facebook."

"Iya, di sana aja biar bisa dibagiin sama banyak orang."

"Tapi jangan kasih keterangan yang detail soal warung apa dan di mana letaknya. Biar yang nonton tahu aja kalo ada warung-warung yang pake jin penglaris. Dengan begitu, mereka jadi lebih berhati-hati," papar Mala menerangkan tujuannya. "Maksud gue kayak gitu, Jeng. Gimana?"

Ajeng mengangguk setuju. "Benar juga. Gue setuju sama lu. Jadi, kapan mau diunggah?"

"Sekarang aja kali, ya?"

"Oke, lu tandain atau tag gue, ya? Nanti 'kan lu ceritanya lagi mau makan sama gue gitu. Terus lu yang bisa lihat makhluk halus jadi tahu di warung bakso itu pake jin penglaris. Sekalian aja lu bisa terangin efek dari makan di tempat yang pake jin penglaris kayak gimana," jelas Ajeng yang juga mau terlibat dalam unggahan video itu.

"Beres!"

***

Jiwa NelangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang